Rabu, 19 Desember 2012

perjalanan kesebelasan MIA


Rasanya baru kemarin aku menulis tentang para awak kesebelasan MIA. Yah, walaupun ada lagi yang bergabung di rombongan kami,  mas Syafa'at El Bahry yang dengan kehebatannya mampu menjadi orang terdepan membawa perahunya untuk sampai ke dermaga terakhir. Kini, laju rombongan perahu kami hampir berada di ujung cerita. Jujur, baru di semester ketiga ini aku benar-benar menyatu dengan mereka, mengenal lebih dekat. Dan di saat yang bersamaan ternyata mengharuskan kita untuk memperjuangkan nasib kita masing-masing, bergegas menuju tepi mengantisipasi habisnya amunisi.
Sebelum perjuangan individu itu, ternyata kami harus diuji bagaimana menghadapi badai bersama. Pengadaan acara international discussion yang tak terlupakan. Banyak cerita untuk jadi dongeng buat anak-anak kita nanti. Benar, karena anak-anak kecil suka belajar dari dongeng.
Sedikit banyak peluh yang kita keluarkan demi acara ini tak akan pernah sia-sia. Jika aku bayangkan, kita saling tarik-menarik agar bisa sampai ke dermaga bersama-sama, dan tak ada yang tertinggal. Yang punya kekuatan dan posisi di depan menarik yang di belakangnya, dan yang memiliki kekuatan di posisi belakang berusaha sekuatnya untuk mendorong yang di depannya. Namun, apakah saling dan saling ini hanya akan berakhir di acara ini? aku harap tidak. masih ada satu langkah lagiuntuk menuju tempat pelabuhan terakhir bernama wisuda. Aku harap, awak kesebelasan MIA tetap saling memberikan motivasi. siap? mari berlayar lagi kawan....

DREAMLAND, edisi seoul-south korea



Catatan yang dulu hilang, maaf. Hari ini akan kumulai lagi, dengan menggantung beberapa harapan di dinding kamarku. Iya, mimpi yang sempat tenggelam beberapa waktu lalu kini mengapung lagi ke permukaan, dan bersegera ingin ke tepian. Dan aku berani bermimpi lagi karena beberapa orang yang ada di sekitarku, salah satunya si lelaki perahu kecil itu.  Ketika menonton film perahu kertas, harapan untuk bertemu lagi dengan si lelaki perah kecil tumbuh lagi, bersamaan gerimis yang menyiraminya. Perau kertas mengingatkanku pada perahu kecil miliknya, yang begitu sederhana. Jauh dari megah tapi selalu mampu bertahan mengarungi samudra biru. Bermusuh badai dan gulungan ombak besar. Aku masih ingin banyak belajar dari kesederhanaannya. Ah, apa aku yang terlalu menganguminya? Entahlah, aku hanya bersyukur bisa bermimpi lagi. Karena dengan mimpi aku merasa hidup lagi. Thanks for being a part of my dream, till I can survive and never give up.

Dan, ada orang lain lagi yang memanggil jiwaku untuk bangun dari lamunku yang tak tahu harus apa. Seorang teman dari pulau seberang, padang. Kami mulai mengukir mimpi untuk segera menginjakkan kaki di negeri kimchi, Korea. Ya, kuperkenalkan Uni onya. Mungkin bagi sebagian orang, mimpi itu mustahil. Tapi bagi kami, mimpi itu sebuah keajaiban. Mau tahu bagaimana ajaibnya? Oke, dengarkan ini. Di bulan Desember ini, salju turun di sana dan kami bisa merasakan tetesannya di pipi dari sini, Indonesia. Dengan memejamkan mata, kami berguling2 dia atas pasir putih yang tak akan pernah ditemui di negeri kami, salju. Kami saling lempar bongkahan salju itu, dan mengukir nama sekedar tuk abadikan moment bahwa dua gadis penggila seoul pernah sampai di sana. Ya, ini masih di mimpi. tapi kau tahu? Sebentar lagi mimpi ini bakal nyata. 

Tuhan memang begitu baik hati, yang selalu mengijinkan manusia untuk bermimpi apa pun, sampai yang kadang unpredictable sekalipun. Tapi kau tahu, dunia jadi berwarna dan bercahaya dengan mimpi-mimpi. Seperti tawa bocah-bocah kecil yang tulus dan polos. Di setiap jeda tawa mereka, ada mimpi, harapan dan cita.  Dan mereka, dengan tatapan mata yang berkilauan selalu ingin bergegas menggapai. Anak kecil tak pernah bisa berjalan, mereka selalu berlari dan melompat. Lalu, ketika bermimpi, kembalilah ke masa itu. Menjadi anak kecil dan segera berlari. Selamat bermimpi, semoga Tuhan memeluk dan memberi jalan untuk mimpi-mimpi kita.

Jumat, 12 Oktober 2012

Sebuah Gang

hujan membawa serta rindu,
diam-diam menyelinap bersama sunyi
aku senantiasa menikmati sebuah gang, di tikungan jalan
yang mulai lengang

Ah, tak ada siapa pun di mulut gang
hanya lampu jalanan temaram,
menyorot sisa rintik hujan,
turun satu satu kian berirama klasik

hujan deras lagi,
aku masih menikmati sebuah gang di tikungan jalan
haha, bahkan pintu pos satpam telah tertutup rapat
mungkin mereka meringkuk dipelukan hawa yang semakin dingin

aku mengulum senyum,
di saat seperti ini aku ingin masuk gang
tanpa mengendap-endapkan langkah
tanpa memakai topeng seperti maling
aku akan mencari mencuri

hujan tak segera reda
aku masih di sini,
hanya menikmati sebuah gang, di tikungan jalan
mulai redup tertutup kabut
nyatanya aku masih di sini,
tak bisa mencari mencuri

ah, besok pagi saja aku ke sana
ke gang di tikungan jalan
tanpa harus bersembunyi dari satpam
hanya dengan mengantar secangkir kopi,
yang tercampur bubuk rindu
aku meracuninya, kemudian mencurinya

aku semakin menikmati gang itu,
menunggu pagi yang masih lama

at villa permai



Selasa, 10 April 2012

KALAMENDE


Orang-orang memanggilnya Bang Jack. Kata mereka, dialah yang merintis berdirinya pesanggrahan ini. Pesanggrahan kalamende namanya. Dia memang bukan penduduk asli kampung ini, bahkan dia datang dari daerah yang cakup jauh. Butuh waktu sehari semalam untuk menempuh jarak sampai ke sini, itu pun sudah menggunakan kereta api. Bang Jack datang dari ibukota negeri ini yang sering kudengar namanya di televisi tapi sama sekali belum bisa kubayangkan untuk bisa sampai ke kota yang kabarnya seperti surga dunia itu. Semua tersedia di Jakarta, kata mereka. Bang Jack sosok laki-laki yang berpengaruh di sini meski tak berparas sangar ataupun memiliki tubuh yang kekar. Bang Jack hanyalah seorang manusia yang bisa dibilang kurus, lebih tampak tulangnya. Mungkin karena ia memiliki kharisma tersendiri, atau karena apa yang telah dilakukannya untuk kampung ini. Banyak orang segan terhadapnya, bahkan para ibu berhasrat untuk menjadikannya suami bagi anak-anak perempuan mereka.

Kebetulan, Bang Jack mulai menginjakkan kakinya di kampungku hampir bersamaan ketika aku meninggalkan kampung ini. Seusai tamat pendidikan menengah aku diminta Pak lik, adik dari ibu untuk tinggal di rumahnya. Walaupun masih dalam satu kota, namun rumah Pak Lik cukup jauh. Di sana aku diminta untuk membantu momong anak kembarnya yang masih duduk di sekolah dasar sepulang dari sekolah. Aku mau saja karena Pak Lik bersedia menanggung biaya sekolahku. Paling tidak bisa meringankan beban ibu. Toh, ibu masih harus menyekolahkan adikku yang tiga jumlahnya. Tiga tahun aku meninggalkan kampung ini, jadi aku tidak terlalu paham siapa Bang Jack yang kerap dibicarakan itu. Mulanya aku juga tak mau tahu.

Aku baru saja tiba di rumah dua hari yang lalu. Begitu menerima ijazah SMA, ibu memintaku kembali ke sini. Aku tak bisa menolak permintaannya ini, Pak Lik pun dengan berat hati mengantarku pulang. Walaupun Pak Lik sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, tapi tetap saja dia harus merelakanku. Mungkin sudah saatnya aku membantu ibu ngrumat adik-adikku.

Sebuah hal yang diluar perkiraan, tiba-tiba ibu membicarakan tentang pernikahan. Ternyata ibu tak jauh beda dari ibu-ibu di kampung ini yang berkeinginan untuk menjadikan Bang Jack sebagai menantu.

“Nduk, kamu ini sudah saatnya menikah. Sekolah pun sudah tamat kan? Lihat lah teman-teman bermainmu sewaktu kecil dulu sudah banyak yang menikah. Bahkan ada juga yang sudah menggendong anak lho.”

“Kamu tahu Bang Jack yang tinggal di bekas rumah Pak Hasyim itu? Dia itu baik, nduk. Semua orang ingin dia menjadi menantu di rumahnya. Ibu juga ingin, nduk.”

Bagai ada palu yang mengetok kepalaku. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kata pernikahan saja belum sempat terlintas barang sekali di benakku apalagi untuk melakoninya. Begitu juga, siapa itu Bang Jack? Mengenalnya saja tidak. Ah, ibu bisa-bisa saja.

“Kalau kamu setuju, nanti biar Pakde Ridwan yang nembung ke dia. Kebetulan Pakdemu itu akrab dengannya karena sering bergabung di pesanggrahan Kalamende.”

Duh, apalagi ini sampai ibu melupakan budaya patriarki yang berlangsung turun temurun dari leluhur. Saru katanya kalau pihak perempuan yang nembung duluan. Tapi kenapa ibu seakan tidak lagi mengenal kata saru itu.

“Jangan terburu bu, nantilah biar aku tahu siapa itu Bang Jack.” Kataku pada ibu.

Semenjak inilah aku jadi tertarik untuk lebih tahu tentang Bang Jack. Sepulang belanja dari pasar, aku bertemu si Marni teman lamaku dari kecil. Setelah bertegur sapa, kita pun hanyut dalam perbincangan sekalian untuk menyisir langkah menuju rumah masing-masing.

“Marni, kamu kenal yang namanya Bang Jack? Seperti apa to dia?”

“Kenapa memangnya? Ibumu ingin menikahkanmu dengan Bang Jack juga?” aku mengangguk pelan. Tiba-tiba Marni melepaskan tawanya. “Semua ibu-ibu di sini terkena virus apa ya, Fi. Memang si Bang Jack orangnya baik, juga sudah membuat perubahan untuk kampung kita ini tapi aneh juga dengan sikap ibu-ibu itu.” Ternyata kabar yang berseliweran itu benar adanya. Aku jadi semakin penasaran tentang Bang Jack , kenapa dia seakan menjelma jadi Yusuf yang membuat semua wanita terkesima dan terpesona. Aku masih dalam lamunanku ketika Marni hendak belok ke gang rumahnya. Dan aku baru sadar Marni sudah tak berada di sebelahku. Aku pun setengah berlari mengejarnya.

“Marni tunggu, apa kau bilang tadi? Perubahan? Emang perubahan gimana maksudmu?” Marni tersenyum. “Datang aja ke pesanggrahan Kalamende, Fi.” Jawab marni sambil lalu.

***

Aku terbius juga oleh omongan Marni kemarin. Langkahku terhenti di depan sebuah rumah tua yang dulunya ditinggali Haji Hasyim yang kata orang kini dijadikan tempat tinggal Bang Jack. Ada sebuah papan tergantung di dinding luar, bertuliskan ‘pesanggrahan kalamende’. Aku agak ragu memasuki halaman rumah yang tak berpagar ini. Perasaanku gamang. Ingin membatalkan niat untuk bertandang ke sini. Ada prasangka buruk jika pesanggrahan ini punya embel-embel misi teroris seperti yang lagi marak saat ini. Tapi ternyata rasa penasaran ini mampu mengalahkan kegamanganku. Aku melanjutkan kembali langkahku, sampai juga di depan daun pintu. Aku mengetuknya, pelan. Tak ada sahutan. Kuulang lagi hingga tiga kali, tetap sunyi. Kuputuskan untuk pulang walaupun masih banyak tanda tanya menggantung di benakku, tentang Bang Jack.

Esok hari, rasa penasaran menuntunku untuk kembali ke pesanggrahan ini. Dalam bayanganku, Bang Jack adalah sesosok orang yang berbadan besar, kekar, berkumis. Mahal senyum yang akan mendukung kesangarannya. Namun, semua bayangan yang kugambarkan dalam imajinasiku itu runtuh semua setelah hari ini aku berhadapan langsung dengannya. Dan ketika kusodorkan sketsa gambarku tentang dirinya, Bang Jack pun tertawa.

Aku mengganti kanvasku, memulai lukisan yang baru tentang Bang Jack. Jika orang melihat lukisanku ini nanti, seakan melihat lukisan Presiden Soekarno yang penuh kharisma. Aku mulai menggambar ketika Bang Jack mengangkat penanya, menuangkan syair-syairnya di lembaran-lembaran yang mampu menyuarakan keresahannya atas negeri ini, khususnya kampungku. Aku meneruskan gambarku ketika Bang Jack berdiri, menggaungkan ide-idenya seperti ketika Soekarno berpidato di hadapan rakyat Indonesia di masa penjemputan kemerdekaan. Bedanya, Bang Jack berbicara di hadapan para penduduk kampungku yang rata-rata masih berpikiran negatif tentang pentingnya belajar. Bang Jack menularkan virus-virus kebangkitan. Itulah mengapa ia mendirikan pesanggrahan ini, pesanggrahan kalamende.

Dari penggambaran fisiknya, Bang Jack lebih terlihat kesederhanaannya. Kaos oblong dengan celana panjang membuat penampilannya santai, tanpa neko-neko seperti yang dilakukan para laki-laki metroseksual. Bang Jack memang tipe orang yang tidak terlalu memperhatikan penampilan fisiknya, tapi justru inilah yang mengundang ketertarikan orang lain padanya. Dengan tampil apa adanya, memberikan magnet tersendiri yang membuat orang percaya. Bang Jack yang bertubuh ceking, memperlihatkan tulangnya seakan dia adalah seorang pemimpin yang dalam ungkapan Belanda Leiden is Lijden. Sebuah ungkapan yang dulu pernah didengungkan untuk menggambarkan kondisi Agus Salim saat berkiprah menjadi salah satu pemimpin negeri ini. Memang, secara formal dia memang tak memiliki jabatan sebagai pemimpin di kampung ini. Dia bukan pak lurah maupun kepala desa, tapi bagi warga sini Bang Jack lebih dari sekedar pemimpin yang membukakan sebuah pintu gerbang, mengantarkan pada pemikiran yang lebih luas dan bijak.

Ketika kutanya tentang filosofi pesanggrahan kalamende, ia menjawab dengan penuh semangat. Tampaknya ia senang jika orang ingin tahu lebih jauh tentang kelompok yang dirintisnya, karena dengan begitu ia akan bisa memprovokasi agar bergabung di sini.

“Kalamende sama dengan kalajengking. Kamu tahu hewan kalajengking itu?”

“Iya.” Jawabku mengangguk. “Kalajengking itu kan yang bisa menyengat orang.”

“Betul sekali. Kata kuncinya kalajengking itu menyengat, ‘mencambuk’, dan menyemangati. Jadi, melalui pesanggrahan kalamende ini ada misi untuk memberikan sengatan bagi orang-orang agar tergugah kesadarannya. Mencambuk orang-orang dari tidur panjangnya, agar mereka bangkit. Serta memberikan semangat dan motivasi. Ya, kurang lebihnya begitulah.”

Kampungku memang serasa jauh dibanding ibukota di mana Bang Jack berasal. Banyak anak yang putus sekolah karena kekecewaan mereka terhadap pelayanan pendidikan yang diberikan pemerintah.

“Buat apa sekolah Bang? Hanya buang uang, ujung-ujungnya jadi pengangguran. Lebih baik bantu bapak di sawah, atau bantu ibu berdagang di pasar bisa dapat uang. Apa gunanya belajar kalau sudah bisa dapat uang, Bang?” Begitu kata Bima ketika pertama kali Bang Jack menemukannya sedang memanggul cangkul lewat depan rumahnya di jam-jam sekolah.

Lain lagi ketika Bang Jack sedang berjalan menuju kantor pos berpapasan dengan Bu Karomah bersama anak perempuannya, Faizah. Sepertinya mereka hendak ke pasar. Faizah tak melanjutkan sekolahnya setelah selesai di tingkat sekolah menengah. Ketika Bang Jack bertanya, Bu Karomah menertawakan pertanyaan Bang Jack.

“Alah Bang, anak perempuan takdirnya nanti di dapur juga. Buat apa sekolah lagi? Sudah cukup lah sampai SMP. Toh pemerintah hanya mewajibkan belajar sembilan tahun. Jadi istilahnya, yang penting sudah menggugurkan kewajiban Bang. Sebentar lagi juga Faizah akan dipersunting sama anak juragan tembakau desa sebelah Bang.” Tutur Bu Karomah dengan raut bangga karena putri sulungnya akan diperistri orang, dari keluarga kaya pula. Bisa meringankan beban keluarga menurutnya.

Dari cerita Bang Jack, sebulan berada di kampungku ternyata ia menemukan banyak Bima-Bima yang lain, mogok sekolah. Banyak ibu-ibu yang berpikiran sama dengan Bu Karomah. Padahal, ketika suatu hari ia bertemu Faizah ternyata remaja putri ini sebenarnya belum siap jika harus memasuki dunia barunya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Melihat kenyataan ini, Bang Jack tergerak untuk melakukan sebuah perubahan terutama perubahan paradigma yang berkembang di sini. Tapi memang sulit untuk melakukannya seorang diri hingga akhirnya Bang Jack tak sengaja bertemu dengan salah seorang pemuda yang aktif di karang taruna kampung ini, bernama Agus. Ada satu ideologi yang sama, sebuah keinginan untuk memajukan kampung yang bisa dikatakan tertinggal. Bersama-sama, mereka menjalankan misi pesanggrahan ini.

Mulanya, Bang Jack mengumpulkan para pemuda kampung ini yang setidaknya bisa diajak urun rembug bagaimana mendobrak anggapan yang sudah melekat erat di pikiran masyarakat. Dari kaca mata Bang Jack, paradigma seperti itu terbentuk oleh keadaan atas ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan pendidikan yang diberikan. Di kampungku yang pelosok masih minim sekali tenaga guru. Sekolah yang kurang layak disebut sebagai tempat belajar, gedungnya reot sana-sini sering kebanjiran. Kebijakan yang sering berganti acap kali membuat bingung mereka baik guru, siswa maupun orang tua. Sekolah yang menuntut kepatuhan yang sedemikian mengungkung ide-ide kreatif yang mereka miliki. Hasilnya, mereka pasrah dengan keadaan dan mengerucutkan pada satu pemikiran, sekolah dibubarkan saja.

“Jika kalian diam saja, sama saja bunuh diri pelan-pelan. Justru seharusnya kita melawannya. Namun, perlawanan dibutuhkan amunisi yang cukup. Melawan tanpa senjata, sama saja menyedekahkan nyawa pada musuh. Dan amunisi itu berupa pemikiran-pemikiran yang cerdas yang perlu proses pembelajaran dan pengasahan.” Begitu koar-koar Bang Jack yang ternyata mampu menyulut kesadaran mereka. Membangunkan mereka untuk kembali berani mengukir mimpi. Banyak pemuda-pemudi menyusun barisan di belakang Bang Jack dan Agus, memulai dengan merancang peta perubahan.

Bukan hanya itu, lambat laun para petani maupun pedagang di kampung ini sering bergabung di pesanggrahan kalamende walaupun hanya untuk sekedar meminta pendapat atas permasalahan yang mereka hadapi. Pakde Ridwan yang menjadi ketua perkumpulan para petani misalnya, sering bertandang dengan keluh kesahnya atas perbuatan pemerintah yang lebih bangga mengimpor beras dari luar dari pada beras lokal.

“Banyak petani dirugikan, sehingga regenerasi petani pun berkurang. Hal ini membuat anak muda jaman sekarang kapok untuk meneruskan profesi ini. Padahal kan negara kita ini negara agraris, tapi justru petani menipis.” Begitu curhat Pakde Ridwan.

Begitulah, selama tiga tahun di sini banyak perubahan di kampungku, terutama perubahan gaya pikir masyarakat. Tampaknya misi pesanggrahan kalamende menuai hasilnya, mampu menyengat manusia-manusia yang lama tertidur dalam kepasrahan.

***

Senja mengingatkanku untuk mengakhiri perbincangan ini walaupun masih banyak hal yang ingin kudengar dari Bang JAck. Aku berpamit pulang. Sampai di rumah, ibu yang sedang memasang kancing baju di teras menyapaku.

“Nduk, gimana? Tadi Pakde Ridwan dari sini. Kamu mau ndak sama Bang Jack?”

“Aufia mau ke kota melanjutkan kuliah, Bu. Masih terlalu dini untuk menikah.” Jawabku sambil tersenyum simpul, meninggalkan ibu. Sepertinya aku terkena sengatan kalamende.

Ngaliyan, 17 Maret 2012

Terinspirasi dari buku Sekolah dibubarkan saja, juga dari pesanggrahan kalamende yang didirikan Ahmad Khotim Muzakka dan Agus Harianto. Sebuah group untuk menyuarakan minat baca tulis sebagai hal berharga yang seharusnya dilakoni banyak orang sebagai alur hidup dan laku berfilsafat. Thanks for the inspiration, best regards for u all…

Rabu, 01 Februari 2012

SURAU KECIL BUNGA

Hujan turun sore ini, menyembunyikan senja. Tepat ketika Bunga hendak keluar dari tempatnya mengaji di sebuah gubuk kecil yang mereka sebut surau. Sebuah bangunan kecil terbuat dari anyaman bambu yang mereka susun dengan terampil, beda jauh dengan mushalla ataupun masjid di kota-kota. Bapak Bunga salah satu dari mereka yang membangun surau itu. Bergotong royong mereka mengumpulkan dan menganyam sisa-sisa bambu yang tak dipakai untuk membuat berbagai kerajinan dari bambu. Tapi begitulah, rumah Bunga dan rumah teman-temannya juga terbuat dari bahan yang sama, tak seperti rumah di kota-kota yang terbuat dari batu bata berperekat semen. Pernah suatu hari Bunga begitu mengagumi sebuah bangunan megah, beralas keramik dari marmer. Banyak tulisan kaligrafi menghiasi tiap dindingnya. Saat itu adalah pertama kalinya Bunga bertandang untuk berteduh. Hujan tiba-tiba turun tanpa memberi aba-aba ketika Bunga masih sibuk menawarkan koran-korannya di perempatan lampu merah. Bunga lari terburu-buru menyembunyikan koran-koran itu dibalik kaos oblongnya agar tak terkena hujan. Dan, bangunan megah itulah yang paling dekat untuk berlindung.

Hujan begitu lebat mencegat langkah Bunga. Ia mengurungkan niatnya untuk pulang karena tak membawa payung, tak pula ada yang menjemput. Teman-temannya yang membawa payung telah lebih dahulu pulang. Beberapa menunggu hujan reda bersama Bunga, namun satu persatu dari mereka meninggalkan Bunga ketika bapak, ibuk, atau kakak datang menjemput. Bunga sendirian. Ia jongkok diatas tanah yang menjadi teras surau. Air hujan menetes tepat di depannya membuat cekungan, ia mainkan. Bunga teringat saat berteduh di bangunan megah seperti istana milik Ratu Bilqis yang dikisahkan Kak Budi, guru ngaji Bunga setelah semua muridnya selesai mengeja huruf hija’iyyah. Kata orang-orang, inilah yang dinamakan masjid tempat beribadah kepada Tuhan. Kebetulan saat itu adzan dhuhur berkumandang, sekalian saja Bunga ambil wudhu dan ikut sholat. Bunga masuk masjid masih dengan wajah penuh kagum. Namun, sesuatu membuatnya tertegun ketika hanya ada seorang imam dan dua orang jama’ah laki-laki dibelakangnya. Berarti jumlah jama’ah hanya empat termasuk dirinya. Orang-orang pada kemana? Batin bunga bertanya-tanya.

Usai sembahyang, Bunga berteduh di teras masjid yang menurutnya lebih cocok disebut istana. Bunga duduk bersila di teras masjid menunggu hujan reda. Ia tak mau koran dagangannya basah. Bunga menunggu dengan senang hati, membayangkan sedang berada di istana. Bahkan, Bunga sempat berguling-guling menikmati lantai marmer yang tak akan pernah ia dapati di rumahnya maupun di tempat mengajinya sampai akhirnya ada seseorang datang menegur.

“Bocah kecil, bisa baca tulisan itu kan?” tanya seorang laki-laki seumuran Kak Budi yang dikenali Bunga sebagai imam shalat tadi sambil menudingkan jarinya ke sebuah kertas yang tertempel di tiang penyangga bangunan itu. DI LARANG TIDUR DI MASJID. Mulut Bunga tampak bergeming sejenak, mungkin mengeja tulisan itu.

“Aku tidak tidur kak, hanya menunggu hujan.” Laki-laki itu hanya mengangguk paham. Dan sebelum ia beranjak pergi, Bunga menghentikan langkahnya dengan pertanyaan.

“Orang-orang pada kemana kak? Kok masjid ini sepi sekali?” pertanyaan polos Bunga mampu menarik laki-laki bernama Ahmad itu untuk duduk bersama Bunga.

“Ya beginilah.” Sejenak Ahmad menghela nafas yang agaknya berat. Bukannya dia tidak bisa menjawab pertanyaan Bunga, namun lebih pada bagaimana menjelaskan dengan kalimat yang bisa dicerna oleh bocah yang seharusnya duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Masjid ini ramai hanya dua kali dalam setahun, pada saat shalat hari raya.”

“Kenapa kak? Padahal masjid ini luas dan nyaman. Aku aja betah di sini. Di surau kami selalu sesak. Penuh jama’ah dari anak kecil sampai kakek-kakek. Bahkan ketika tidak kebagian tempat, orang-orang rela menggelar tikar di luar surau.”

“Iya, jam-jam segini mereka biasanya masih sibuk bekerja di kantor.”

“Tapi bapak, Pak Lek Tomo, Pak Lek Joko, dan Mbah Sugiono meninggalkan sawah mereka menuju surau ketika Kak Budi sudah mengumandangkan adzan. Begitu juga dengan Yu Darsih, Mbok Karti, dan Mak Ijah meninggalkan chanting mereka. Mereka berhenti membatik sejenak. Aku dan teman-temanku pun segera berhenti bermain.” protes Bunga. Dahi Ahmad berkerut, serius berpikir.

“Itulah jawabannya.” Kata Ahmad akhirnya dan dahi Bunga ikut berkerut juga, tak mengerti. Tapi bunga segera meninggalkan Ahmad untuk menjajakan korannya yang tersisa setelah hujan berhenti.

Bunga masih terjebak hujan di surau. Bosan bermain air, Bunga beranjak ganti posisi. Dia memilih untuk duduk ditengah teras yang agak jauh dari tetesan air hujan. Tangan bunga menemukan sebatang korek api yang sudah bekas. Mungkin itu habis digunakan untuk menyulut rokok para petani usai sholat dhuhur tadi siang sembari istirahat sebentar. Ah, tapi Bunga tak peduli. Menggunakan batang korek itu Bunga mulai menggambar di teras surau yang masih beralaskan tanah. Bocah kecil itu memang tak pernah belajar di Taman Kanak-kanak dan setiap pagi hingga siang ia lebih memilih menjajakan koran, namun bukan berarti dia tak bisa menggambar seperti anak-anak yang lain. Bunga mulai menarik garis lurus, ke kanan, ke kiri sampai membentuk gambar balok seperti kardus. Bunga membubuhi gambar melengkung yang runcing ujungnya di atas balok itu. Dan setelah selesai, mata bunga menyapu setiap sudut surau. Bunga sedang berpikir sesuatu.

Kali ini, bukan karena berteduh dari hujan. Bunga memang sengaja mampir masjid dekat perempatan lampu merah yang baginya adalah istana ratu Bilqis. Kebetulan hari ini korannya laris manis. Bunga memutuskan tak langsung pulang karena merindukan istananya, ingin sembahyang di sana. Mata bocah itu melihat suasana yang sangat berbeda dari pertama kali ia berkunjung. Masjid mewah itu ramai penuh orang. Memang waktu sembahyang dhuhur akan tiba, mungkin mereka akan ikut jama’ah bersama Kak Ahmad, batin Bunga. Bunga pun melepas lelah, duduk mengamati para pendatang itu. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya, Bunga terlalu polos untuk memahaminya. Mereka para orang dewasa, bergerombol ke sana kemari hampir ke semua ruang bangunan itu, kecuali mimbar untuk khutbah. Dari taman sampai ke tiang-tiang. Salah satu dari mereka membawa sebuah benda berbentuk kotak yang tak pernah dilihat Bunga sebelumnya, kamera digital. Sedangkan yang lain tertawa lebar, kadang meringis, kadang memoncongkan bibirnya. Aneh, pikir Bunga.

Adzan yang ditunggu Bunga terdengar juga, merdu seperti suara Bilal bin Rabah orang yang pertama kali mengumandangkan adzan pada zaman kanjeng nabi. Bunga pun bersegera ambil wudhu. Ketika hendak mengikuti gerakan imam, Bunga baru sadar kalau jumlah jama’ah tak bertambah, tetap seperti kemarin. Hatinya bertanya-tanya, kemana orang-orang yang tadi ramai memenuhi masjid? Mengapa tak ikut shalat berjama’ah? Selama shalat, ternyata pikiran Bunga masih terbawa dengan pertanyaan di benaknya. Yang terjadi tidak seperti perkiraannya tadi. Padahal dia berharap sekali shaf jama’ah penuh seperti di suraunya. Hati Bunga sedih.

Bunga pulang ke rumah dengan langkah perlahan. Otaknya masih belum bisa menemukan jawaban mengapa di masjid yang megah seperti istana dan seluas hamparan sawah begitu sepi sedangkan suraunya yang kecil saja jama’ahnya membludak. Tiba-tiba, ketika sampai di bawah pohon akasia Bunga menghentikan langkahnya. Matanya berbinar seakan ada berlian memantulkan sinar. Setelah itu, ia mempercepat langkahnya. Setengah berlari. Ada senyum tersungging di bibir mungilnya. Mungkin ia telah menemukan sebuah jawaban.

Sampai rumah, Bunga menemukan bapaknya sedang menganyam bambu untuk dijadikan baki-baki lamaran yang nanti akan dijual di pasar. Gadis polos itu bergegas menghampiri bapaknya.

“Bapak, kenapa tidak ada masjid besar di kampung kita? seperti yang di pinggir jalan itu pak?” laki-laki berumur empat puluhan itu hanya menyunggingkan senyum.

“Surau kita sempit pak, sudah tak muat lagi. Kenapa kita tidak shalat ke masjid besar itu aja? Di sana luas, kosong lagi.” Bapak Bunga berhenti menganyam bambu, serius mendengarkan celotehan putrinya.

“Emm… atau kalau nggak, gimana kalau suraunya dibangun menjadi masjid yang seperti istana Ratu Bilqis, Pak? Pasti nanti lebih banyak yang datang untuk sembahyang bersama? Mata Bunga bersinar-sinar membayangkan inginnya. Ganti bapaknya yang kesulitan mencari jawaban. Bagaimana mau merenovasi surau? Uang dari mana? rumah orang-orang di sini saja berdinding anyaman bambu semua, tak ada yang kuat membangun rumah berbatu bata. Untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak saja sudah terasa berat sekali.

“Bunga, untuk beribadah pada Gusti Allah ndak perlu tempat yang besar dan megah. Yang penting hati kita bisa sampai kepadaNya. Dan kita selalu bersyukur.”

“Ah, tapi Bunga ingin masjid yang seperti istana.” Rengeknya. Ia tak puas dengan jawaban bapaknya. Dia berharap mendapat dukungan, tapi ternyata tidak. Bunga berlari meninggalkan bapaknya, menyabet sehelai kerudung kemudian bergegas ke surau.

Surau kecil di bawah pohon beringin itu masih sepi. Belum waktunya shalat, waktu mengaji pun masih menunggu usai shalat ashar. Bunga bermain sendiri di teras surau. Ia menggambar lagi seperti tempo itu, tapi kali ini ia menggambar menggunakan pecahan genting yang pungut di jalan tadi. Dia benar-benar ingin wujudkan mimpinya.

Seluruh kampung digegerkan oleh keinginan Bunga, yang tak pernah sempat terpikirkan oleh mereka. Ada yang mencerca, ada pula yang membenarkannya. Begitulah manusia.

“Bocah edan, mbangun rumah aja susah apalagi mbangun masjid?” kata orang-orang yang mencerca.

“Iya ya. Betul juga. Jumlah penduduk kian hari semakin bertambah saja. Surau sampai tak muat untuk menampung jama’ah. Surau memang butuh direnovasi.” Kata orang-orang yang membela Bunga. Sedangkan bapak Bunga, bingung untuk menempatkan dirinya.

Akhirnya, Pak Herman sebagai kepala desa mengadakan rapat di surau itu. Semua warga dikumpulkan di sana, tapi surau tak muat untuk menampung mereka semua. Sehingga, banyak yang duduk diluar, sampai di bawah pohon beringin. Bunga berada di belakang surau, hanya mengintip lewat celah-celah anyaman bambu yang menjadi dinding surau. Ia tak menyangka, inginnya menggegerkan semua orang. Bunga setengah takut.

Keputusan berhasil ditentukan saat itu juga. Pak Herman mengatakan “Surau ini akan di renovasi”. Dan selanjutnya diikuti ketukan jarinya tiga kali di meja yang biasa digunakan mengaji. Beberapa orang tidak setuju, tapi banyak orang yang bersemangat memperbaiki surau. Hari berikutnya, beberapa pemuda, bapak-bapak, dan ibu-ibu disibukkan dengan pencarian dana. Semua warga mengumpulkan kaleng-kaleng bekas. Ada yang di dapat dari hasil mereka memulung, dan ada yang sisa dari tempat kue-kue lebaran. Setelah terkumpul, kaleng-kaleng itu mereka bungkus dengan kertas bertuliskan ‘mohon bantuan dana untuk pembangunan masjid’. Bunga tak mengerti dengan apa yang mereka lakukan. Ia pun masih seperti biasanya, menjajakan koran dan kadang mampir ke masjid pinggir jalan itu.

Penggalangan dana telah berjalan kurang lebih dua bulan. Hampir separuh penduduk kampung Bunga pergi meninggalkan kampung setiap pagi, dan pulang di petang hari. Mereka membawa kaleng-kaleng bekas itu, berpencar ke kampung lain. Mulai dari kampung tetangga, hingga ke luar kota. Kampung menjadi sepi di siang hari, tak seperti dulu. Bunga tak paham apa yang sedang terjadi di kampungnya. Di tengah terik matahari ketika sayup-sayup ia mendengar suara adzan Kak Budi, ia bersama bapaknya segera berlari ke surau kecilnya yang teduh terhalang pohon beringin yang berusia hampir seratus tahun. Tak seorang pun ia dapati, kecuali Kak Budi yang baru saja selesai adzan. Jama’ah siang itu hanya dirinya, bapaknya dan Kak Budi yang menjadi imam. Sepanjang shalat, Bunga baru memahami apa yang tengah terjadi. Bunga meneteskan air matanya, merindukan suraunya yang tak senyap seperti ini.

Ngaliyan, 22 January 2012

Selasa, 24 Januari 2012

MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Seorang bocah ingin sekali menyongsong pagi. Ia meringkuk dibawah tumpukan jerami, bersembunyi. Angin malam tak melewatkan setiap celah yang ia temukan. Tapi tampaknya ia gagal menembus pori-pori bocah itu. Kulihat, dahi bocah itu bercucuran peluh ketika telinganya mendengar derap kaki bersepatu. Kedengarannya mereka berombongan, dan sesekali ada suara kokangan senjata membuat si bocah semakin merunduk. Tangan kecilnya menyusun jerami-jerami itu untuk menyelimuti tubuhnya, pelan. Tak peduli nantinya ada kutu-kutu padi yang menggigit badan, yang ada dibenaknya hanya agar tak tertangkap oleh mata orang-orang bersenjata itu. Sekelompok pasukan yang telah mengusik mimpinya. Membangunkannya, dan mungkin akan membuatnya tertidur lagi untuk selamanya. Tapi sekali lagi, bocah itu masih ingin menyongsong pagi.

Derap kaki itu semakin terasa beberapa jengkal dari tempatnya. Ia memejamkan mata rapat. Bersiap kalau tangan mereka berubah menjadi tangan Izrail yang mengambil paksa nyawanya, seperti yang mereka lakukan pada bapak ibu si bocah beberapa jam lalu. Sebelum ia sempat berlari, setelah matanya nanar melihat tubuh orang tuanya tumbang terkena pukulan. Si bocah yang histeris membuat amarah segerombolan orang itu membuncah. Sekalian saja menambah daftar dalam buku pencabutan nyawa yang nantinya akan menjadi laporan rahasia pada pesuruh mereka. “Pesuruh mereka bukanlah Tuhan, karena mereka bukan Izrail”. Ingin sekali aku mengatakan ini pada bocah itu agar ia tak menggigil ketakutan. Tapi apa boleh buat, dia belum begitu paham tentang Tuhannya dan juga belum familiar dengan nama Izrail. Pasti susah untuk membuatnya mengerti. Yang dia tahu, mungkin dia akan segera menyusul bapak ibunya malam ini, dan kehilangan pagi.

Bocah itu tak tahu alasan yang tepat mengapa pasukan berseragam hitam itu melakukannya. Sebenarnya aku berniat memberitahunya sekarang, tapi nanti aku kan terbunuh juga bersama sang bocah. Dan dunia tak akan pernah tahu cerita ini. Kuurungkan niatku biar nanti waktu yang menuntunnya untuk tahu kalau memang malam ini bocah itu berhasil lolos dari tangan mereka, kuharap. Tapi yang kutakutkan, kalau tiba-tiba ia beringsut dari posisinya dan pasukan itu curiga ada mangsa mereka di balik jerami itu. Dan kau tahu pasti apa yang akan terjadi.

Dengan segala usahanya, bocah itu berhasil menyambut sapaan mentari. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mengintip dari balik celah jerami apakah pasukan hitam semalam telah pergi. Setelah memastikannya ia pun bangkit, membersihkan badannya dari sisa jerami yang masih menempel. Ia menggaruk-garuk tubuhnya, gatal. Ia baru teringat mengapa ia berada di tempat seperti ini. Memorinya me-replay tragedi semalam, dan kemudian tersedu. Ternyata ia tak setegar yang kukira. Tapi memang siapa yang tak akan menangis ketika orang tercinta pergi meninggalkannya. Ah, malang sekali nasibmu wahai bocah yang tak kutahu namamu.

Si bocah berjalan sempoyongan dengan tenaga yang tersisa menuju rumahnya ingin melihat bapak ibunya terakhir kali. Ternyata ia cukup jauh berlari semalam. Di persimpangan jalan, ada anak laki-laki seumurannya berpakaian kumal dengan topi sekolah dasar bekas yang juga sudah pudar warnanya. Ditangan kirinya ada setumpuk koran. Suaranya yang cempreng berusaha menerobos kebisingan jalan raya.

“Koran…. Koran…. Beli korannya pak.” Anak itu menawarkan dagangannya pada seorang bapak tua.

“Ada berita menarik Pak, seorang anggota DPR meninggal tadi malam. Sepertinya terpeleset dari tangga, tapi anehnya istrinya juga ikut meninggal. Ayo pak, beli korannya.” Kata si tukang loper koran merayu pembeli. Si bocah berhenti mengamati tukang koran cilik. Ia mempercepat langkah tak peduli teriakan dari perutnya.

Di halaman rumah banyak Styrofoam besar berjajar, bertuliskan turut berduka cita. Rumahnya telah dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, tanda duka. Namun itu justru mengingatkannya pada peristiwa semalam, membuat jantungnya berdegup kencang. Berpikir, kalau jangan-jangan segerombolan orang itu juga ada di sini menyamar menjadi pelayat. Ah, tapi pikiran itu ditepisnya. Bocah itu menerobos beberapa pelayat dan ia menangis lagi melihat tubuh orang tuanya yang terbujur kaku tak bernyawa. Tanpa ia sadari ada sepasang mata memperhatikannya, dan aku melihat sepasang mata itu terus menatapnya.

Usai pemakaman, para pelayat beranjak pergi. Tapi tidak dengan si bocah. Ia masih tertunduk di atas gundukan tanah yang tampak basah itu. Dalam tangisnya ia bergumam lirih, hingga angin pun tak mampu mendengarnya. Kemudian ia langsung mengusap air mata ketika ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Seorang laki-laki yang sangat ia kenal ikut jongkok di sampingnya. Laki-laki itu seumuran bapaknya, biasa ia panggil Pak Cik Gun. Nama aslinya Gunawan, sahabat bapaknya dari kecil dulu sampai kini menjabat sebagai anggota DPR.

“Seharusnya bapakmu menuruti kata-kataku. Seharusnya dia tidak menolak tawaranku. Atau seharusnya bapakmu tidak pernah terjun di dunia politik sama sekali. Beginilah jadinya.”

“Apa politik itu seperti malaikat pencabut nyawa?” tanya si bocah, polos. Pak Cik Gun tersenyum berarti.

“Tidak, kalau kamu bisa menjadi pencabut nyawa. Ah, kamu terlalu kecil untuk mengerti. Ayo pulang ke rumah Pak Cik, kamu pasti belum makan kan?”

“Aku masih ingin di sini. Pak Cik duluan, nanti aku menyusul.”

Pak Cik Gun menghempaskan jas hitamnya, melonggarkan ikatan dasinya. Dengan teriakan yang geram ia memanggil Eko, Parmin, Joko, Wawan, Santoso, dan Bejo, namaku. Karena yang dipanggil belum juga menghadap, Pak Cik Gun berulang kali berteriak. Dengan terbirit akhirnya keempat kawanku telah berdiri di depannya, menundukkan kepala. Waktu itu aku sedang di dapur minta dibuatkan kopi sama Mbok Sarini membuatku terlambat memenuhi panggilan. Dan aku tahu pasti, aku akan menerima sebuah konsekuen. Ketika hendak sampai di ruang di mana aku harus menuju, aku melihat bocah itu berjalan terhuyung menuju ke ruang yang sama. Aku menahan langkahku.

“Nggak pecus. Anak kecil itu bisa saja melaporkan pembunuhan orang tuanya. Kerja kalian itu gimana? Nangkap anak kecil kok nggak bisa. Mulai hari ini, bocah itu akan tinggal di sini. Aku nggak mau tahu gimana caranya, kalian harus melanjutkan pekerjaan kalian. Terserah mau pakai racun tikus atau apalah.”

“Pak Cik, aku akan melaporkanmu.” Bocah itu berteriak marah, kemudian cepat-cepat berlari meninggalkan rumah jebakan untuknya. Rasa lapar yang melilit perut membuat larinya tak secepat singa. Aku mengejar langkahnya, dan menggendongnya mencari tempat persembunyian.

“Kejar dia.” Perintah Pak Cik Gun. “Mana Bejo?” Pak Cik Gun berteriak lagi dengan muka merah menyala. Ia baru menyadari ketiadaanku, membuatnya semakin tersulut emosi.

Keempat kawanku berlari mengejar si bocah yang kini tak sadarkan diri di punggungku, itu berarti mereka mengejarku juga. Sebelum menemukan tempat untuk sembunyi, mereka sempat melihatku menjadi malaikat penolong bagi mangsa mereka. dan mangsa mereka kini bertambah satu lagi. Dan daftar pencabutan nyawa yang akan dilaporkan pada utusannya pun bertambah satu nama lagi, namaku. Tapi meski saat ini aku bersembunyi, bukannya aku takut atau tak punya nyali. Ini hanya strategi. Aku tak pernah takut, karena mereka bukan Izrail sang pencabut nyawa.

Ngaliyan, 28 November 2011

Just 4 dek yayas tersayyang, hoho…