Selasa, 24 Januari 2012

MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Seorang bocah ingin sekali menyongsong pagi. Ia meringkuk dibawah tumpukan jerami, bersembunyi. Angin malam tak melewatkan setiap celah yang ia temukan. Tapi tampaknya ia gagal menembus pori-pori bocah itu. Kulihat, dahi bocah itu bercucuran peluh ketika telinganya mendengar derap kaki bersepatu. Kedengarannya mereka berombongan, dan sesekali ada suara kokangan senjata membuat si bocah semakin merunduk. Tangan kecilnya menyusun jerami-jerami itu untuk menyelimuti tubuhnya, pelan. Tak peduli nantinya ada kutu-kutu padi yang menggigit badan, yang ada dibenaknya hanya agar tak tertangkap oleh mata orang-orang bersenjata itu. Sekelompok pasukan yang telah mengusik mimpinya. Membangunkannya, dan mungkin akan membuatnya tertidur lagi untuk selamanya. Tapi sekali lagi, bocah itu masih ingin menyongsong pagi.

Derap kaki itu semakin terasa beberapa jengkal dari tempatnya. Ia memejamkan mata rapat. Bersiap kalau tangan mereka berubah menjadi tangan Izrail yang mengambil paksa nyawanya, seperti yang mereka lakukan pada bapak ibu si bocah beberapa jam lalu. Sebelum ia sempat berlari, setelah matanya nanar melihat tubuh orang tuanya tumbang terkena pukulan. Si bocah yang histeris membuat amarah segerombolan orang itu membuncah. Sekalian saja menambah daftar dalam buku pencabutan nyawa yang nantinya akan menjadi laporan rahasia pada pesuruh mereka. “Pesuruh mereka bukanlah Tuhan, karena mereka bukan Izrail”. Ingin sekali aku mengatakan ini pada bocah itu agar ia tak menggigil ketakutan. Tapi apa boleh buat, dia belum begitu paham tentang Tuhannya dan juga belum familiar dengan nama Izrail. Pasti susah untuk membuatnya mengerti. Yang dia tahu, mungkin dia akan segera menyusul bapak ibunya malam ini, dan kehilangan pagi.

Bocah itu tak tahu alasan yang tepat mengapa pasukan berseragam hitam itu melakukannya. Sebenarnya aku berniat memberitahunya sekarang, tapi nanti aku kan terbunuh juga bersama sang bocah. Dan dunia tak akan pernah tahu cerita ini. Kuurungkan niatku biar nanti waktu yang menuntunnya untuk tahu kalau memang malam ini bocah itu berhasil lolos dari tangan mereka, kuharap. Tapi yang kutakutkan, kalau tiba-tiba ia beringsut dari posisinya dan pasukan itu curiga ada mangsa mereka di balik jerami itu. Dan kau tahu pasti apa yang akan terjadi.

Dengan segala usahanya, bocah itu berhasil menyambut sapaan mentari. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mengintip dari balik celah jerami apakah pasukan hitam semalam telah pergi. Setelah memastikannya ia pun bangkit, membersihkan badannya dari sisa jerami yang masih menempel. Ia menggaruk-garuk tubuhnya, gatal. Ia baru teringat mengapa ia berada di tempat seperti ini. Memorinya me-replay tragedi semalam, dan kemudian tersedu. Ternyata ia tak setegar yang kukira. Tapi memang siapa yang tak akan menangis ketika orang tercinta pergi meninggalkannya. Ah, malang sekali nasibmu wahai bocah yang tak kutahu namamu.

Si bocah berjalan sempoyongan dengan tenaga yang tersisa menuju rumahnya ingin melihat bapak ibunya terakhir kali. Ternyata ia cukup jauh berlari semalam. Di persimpangan jalan, ada anak laki-laki seumurannya berpakaian kumal dengan topi sekolah dasar bekas yang juga sudah pudar warnanya. Ditangan kirinya ada setumpuk koran. Suaranya yang cempreng berusaha menerobos kebisingan jalan raya.

“Koran…. Koran…. Beli korannya pak.” Anak itu menawarkan dagangannya pada seorang bapak tua.

“Ada berita menarik Pak, seorang anggota DPR meninggal tadi malam. Sepertinya terpeleset dari tangga, tapi anehnya istrinya juga ikut meninggal. Ayo pak, beli korannya.” Kata si tukang loper koran merayu pembeli. Si bocah berhenti mengamati tukang koran cilik. Ia mempercepat langkah tak peduli teriakan dari perutnya.

Di halaman rumah banyak Styrofoam besar berjajar, bertuliskan turut berduka cita. Rumahnya telah dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, tanda duka. Namun itu justru mengingatkannya pada peristiwa semalam, membuat jantungnya berdegup kencang. Berpikir, kalau jangan-jangan segerombolan orang itu juga ada di sini menyamar menjadi pelayat. Ah, tapi pikiran itu ditepisnya. Bocah itu menerobos beberapa pelayat dan ia menangis lagi melihat tubuh orang tuanya yang terbujur kaku tak bernyawa. Tanpa ia sadari ada sepasang mata memperhatikannya, dan aku melihat sepasang mata itu terus menatapnya.

Usai pemakaman, para pelayat beranjak pergi. Tapi tidak dengan si bocah. Ia masih tertunduk di atas gundukan tanah yang tampak basah itu. Dalam tangisnya ia bergumam lirih, hingga angin pun tak mampu mendengarnya. Kemudian ia langsung mengusap air mata ketika ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Seorang laki-laki yang sangat ia kenal ikut jongkok di sampingnya. Laki-laki itu seumuran bapaknya, biasa ia panggil Pak Cik Gun. Nama aslinya Gunawan, sahabat bapaknya dari kecil dulu sampai kini menjabat sebagai anggota DPR.

“Seharusnya bapakmu menuruti kata-kataku. Seharusnya dia tidak menolak tawaranku. Atau seharusnya bapakmu tidak pernah terjun di dunia politik sama sekali. Beginilah jadinya.”

“Apa politik itu seperti malaikat pencabut nyawa?” tanya si bocah, polos. Pak Cik Gun tersenyum berarti.

“Tidak, kalau kamu bisa menjadi pencabut nyawa. Ah, kamu terlalu kecil untuk mengerti. Ayo pulang ke rumah Pak Cik, kamu pasti belum makan kan?”

“Aku masih ingin di sini. Pak Cik duluan, nanti aku menyusul.”

Pak Cik Gun menghempaskan jas hitamnya, melonggarkan ikatan dasinya. Dengan teriakan yang geram ia memanggil Eko, Parmin, Joko, Wawan, Santoso, dan Bejo, namaku. Karena yang dipanggil belum juga menghadap, Pak Cik Gun berulang kali berteriak. Dengan terbirit akhirnya keempat kawanku telah berdiri di depannya, menundukkan kepala. Waktu itu aku sedang di dapur minta dibuatkan kopi sama Mbok Sarini membuatku terlambat memenuhi panggilan. Dan aku tahu pasti, aku akan menerima sebuah konsekuen. Ketika hendak sampai di ruang di mana aku harus menuju, aku melihat bocah itu berjalan terhuyung menuju ke ruang yang sama. Aku menahan langkahku.

“Nggak pecus. Anak kecil itu bisa saja melaporkan pembunuhan orang tuanya. Kerja kalian itu gimana? Nangkap anak kecil kok nggak bisa. Mulai hari ini, bocah itu akan tinggal di sini. Aku nggak mau tahu gimana caranya, kalian harus melanjutkan pekerjaan kalian. Terserah mau pakai racun tikus atau apalah.”

“Pak Cik, aku akan melaporkanmu.” Bocah itu berteriak marah, kemudian cepat-cepat berlari meninggalkan rumah jebakan untuknya. Rasa lapar yang melilit perut membuat larinya tak secepat singa. Aku mengejar langkahnya, dan menggendongnya mencari tempat persembunyian.

“Kejar dia.” Perintah Pak Cik Gun. “Mana Bejo?” Pak Cik Gun berteriak lagi dengan muka merah menyala. Ia baru menyadari ketiadaanku, membuatnya semakin tersulut emosi.

Keempat kawanku berlari mengejar si bocah yang kini tak sadarkan diri di punggungku, itu berarti mereka mengejarku juga. Sebelum menemukan tempat untuk sembunyi, mereka sempat melihatku menjadi malaikat penolong bagi mangsa mereka. dan mangsa mereka kini bertambah satu lagi. Dan daftar pencabutan nyawa yang akan dilaporkan pada utusannya pun bertambah satu nama lagi, namaku. Tapi meski saat ini aku bersembunyi, bukannya aku takut atau tak punya nyali. Ini hanya strategi. Aku tak pernah takut, karena mereka bukan Izrail sang pencabut nyawa.

Ngaliyan, 28 November 2011

Just 4 dek yayas tersayyang, hoho…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar