Rabu, 19 Desember 2012

perjalanan kesebelasan MIA


Rasanya baru kemarin aku menulis tentang para awak kesebelasan MIA. Yah, walaupun ada lagi yang bergabung di rombongan kami,  mas Syafa'at El Bahry yang dengan kehebatannya mampu menjadi orang terdepan membawa perahunya untuk sampai ke dermaga terakhir. Kini, laju rombongan perahu kami hampir berada di ujung cerita. Jujur, baru di semester ketiga ini aku benar-benar menyatu dengan mereka, mengenal lebih dekat. Dan di saat yang bersamaan ternyata mengharuskan kita untuk memperjuangkan nasib kita masing-masing, bergegas menuju tepi mengantisipasi habisnya amunisi.
Sebelum perjuangan individu itu, ternyata kami harus diuji bagaimana menghadapi badai bersama. Pengadaan acara international discussion yang tak terlupakan. Banyak cerita untuk jadi dongeng buat anak-anak kita nanti. Benar, karena anak-anak kecil suka belajar dari dongeng.
Sedikit banyak peluh yang kita keluarkan demi acara ini tak akan pernah sia-sia. Jika aku bayangkan, kita saling tarik-menarik agar bisa sampai ke dermaga bersama-sama, dan tak ada yang tertinggal. Yang punya kekuatan dan posisi di depan menarik yang di belakangnya, dan yang memiliki kekuatan di posisi belakang berusaha sekuatnya untuk mendorong yang di depannya. Namun, apakah saling dan saling ini hanya akan berakhir di acara ini? aku harap tidak. masih ada satu langkah lagiuntuk menuju tempat pelabuhan terakhir bernama wisuda. Aku harap, awak kesebelasan MIA tetap saling memberikan motivasi. siap? mari berlayar lagi kawan....

DREAMLAND, edisi seoul-south korea



Catatan yang dulu hilang, maaf. Hari ini akan kumulai lagi, dengan menggantung beberapa harapan di dinding kamarku. Iya, mimpi yang sempat tenggelam beberapa waktu lalu kini mengapung lagi ke permukaan, dan bersegera ingin ke tepian. Dan aku berani bermimpi lagi karena beberapa orang yang ada di sekitarku, salah satunya si lelaki perahu kecil itu.  Ketika menonton film perahu kertas, harapan untuk bertemu lagi dengan si lelaki perah kecil tumbuh lagi, bersamaan gerimis yang menyiraminya. Perau kertas mengingatkanku pada perahu kecil miliknya, yang begitu sederhana. Jauh dari megah tapi selalu mampu bertahan mengarungi samudra biru. Bermusuh badai dan gulungan ombak besar. Aku masih ingin banyak belajar dari kesederhanaannya. Ah, apa aku yang terlalu menganguminya? Entahlah, aku hanya bersyukur bisa bermimpi lagi. Karena dengan mimpi aku merasa hidup lagi. Thanks for being a part of my dream, till I can survive and never give up.

Dan, ada orang lain lagi yang memanggil jiwaku untuk bangun dari lamunku yang tak tahu harus apa. Seorang teman dari pulau seberang, padang. Kami mulai mengukir mimpi untuk segera menginjakkan kaki di negeri kimchi, Korea. Ya, kuperkenalkan Uni onya. Mungkin bagi sebagian orang, mimpi itu mustahil. Tapi bagi kami, mimpi itu sebuah keajaiban. Mau tahu bagaimana ajaibnya? Oke, dengarkan ini. Di bulan Desember ini, salju turun di sana dan kami bisa merasakan tetesannya di pipi dari sini, Indonesia. Dengan memejamkan mata, kami berguling2 dia atas pasir putih yang tak akan pernah ditemui di negeri kami, salju. Kami saling lempar bongkahan salju itu, dan mengukir nama sekedar tuk abadikan moment bahwa dua gadis penggila seoul pernah sampai di sana. Ya, ini masih di mimpi. tapi kau tahu? Sebentar lagi mimpi ini bakal nyata. 

Tuhan memang begitu baik hati, yang selalu mengijinkan manusia untuk bermimpi apa pun, sampai yang kadang unpredictable sekalipun. Tapi kau tahu, dunia jadi berwarna dan bercahaya dengan mimpi-mimpi. Seperti tawa bocah-bocah kecil yang tulus dan polos. Di setiap jeda tawa mereka, ada mimpi, harapan dan cita.  Dan mereka, dengan tatapan mata yang berkilauan selalu ingin bergegas menggapai. Anak kecil tak pernah bisa berjalan, mereka selalu berlari dan melompat. Lalu, ketika bermimpi, kembalilah ke masa itu. Menjadi anak kecil dan segera berlari. Selamat bermimpi, semoga Tuhan memeluk dan memberi jalan untuk mimpi-mimpi kita.