Sabtu, 12 November 2011

KESEBELASAN KITA

Hari-hari di mana qta mulai bergabung di 'KESEBELASAN QTA'.
Mungkin photo ini yang nantinya akan bercerita tentang sedikit sejarah yang qta renda sejak tanggal 28 oktober 2011 lalu, saat pertama kali qta dipertemukan Tuhan. Mungkin tak akan ada orang lain yang akan menyempatkan diri tuk mengabadikan, mungkin tak ada orang lain yang ingin membuatkan prasasti untuk mengenang sekelumit sejarah qta ini. yah, biarlah photo ini yang akan mewakili.
Saat aku memberanikan diri untuk menulis ini, bahkan mungkin aku belum terlalu mengenal orang-orang yang berjajar di samping kanan kiriku, atau belakangku. Namun setidaknya, aku berharap nanti waktu yang akan mengajari qta untuk saling megerti. Biarlah nanti ada canda tawa yang mengikat erat hubungan ini.
Sekarang, saatnya aq mengajakmu untuk membaca photo ini. hehe, bukan tulisan aja kan yang bisa dibaca kan? hukay... qta mulai ja yuk cint...

Di depan sendiri pojok kanan ada BU YUMI yang amat sangat keibuan, bunda buat anggota kesebelasan qta. Berasal dari Demak, kemarin sempet ngicipi buah khas Demak, blimbing. hemmmm..... tingkyu Bunda Yummmyyy.... jangan kapok bawain lagi yha... hehe

Di sampingnya ada ibuk muda berkaca mata, MBAK IKA. Dari pertama melihat wajahnya, gag keliatan kalo mbak Ika uda married. Abisnya masih imut-imut plus kalem. Eh eh, ternyata malah udah punya dedek. Mbak Ika dateng dari Purwodadi. Kapan-kapan maen sana yha mbak

Nyang di tengah aq sendiri tuh, DHEK AYIEK. Biar pada inget, boleh yha nulis bot maiselp... hehe. Aq berasal dari kota kudus. kalo pada ziarah ke sunan kudus ato sunan muria mampir ajah atuh....

Sebelahku ada mamah cantik yang akrab dipanggil MBAK UUN. Hemmm... kalo ndak percaya liat sendiri deh, cantik kan? Mbak Uun dateng dari Pati, tapi udah berdomisili lama di Semarang. mungkin sewaktu-waktu qta bisa nyerbu rumahnya Mbak Uun, hehe... boleh ndak mbak?

Next, ada mbakayu SONYA. Eits, jangan kebalik jadi SANYO yha, hoho. Sekali liat pasti ketahuan bukan wajah-wajah yang njawani. Emang dia dateng dari padang. gag cuma masakan padang yang pada nyasar ke Jawa, para penduduknya jugag ternyata. Mumpung ada orang dari Padang nih, kita ndak perlu ke rumah makan padang. Cukup minta dimasakin mbak Sonya ajah. gimana mbakayune????? hehe

Wokey, stok cewek abis nih. Qta lanjut aja gan, tak usah kuatir. Dibelakang Mbak Sonya ada MAS WISNU. Jangan gemen-gemen, ketua kesebelasan qta nih, hehe. Dateng dari luar negeri loh. (jepang-mangkang, sama di huruf belakangnya). Seorang sensei, bahasa jepangnya top markotop bro.

Selanjutnya ada pak yai SUPRI MAULANI (maap yha, ngasih julukan baru. Biar nanti terkenal kayak ust. maulana, heheh). Gayanya, biacaranya, cocok banged buat jadi pak yai. Berasal dari Sayung. Kalo mau ngadain pengajian, kontak aja langsung. ketik REG spasi pak yai supri. hihi, pisss bro... just kidding...

Trus ada PAK BINTANG nih. Walau berasal dari negeri ngapak alias tegal, tapi ndak keliatan bahasa aslinya tuh. di kelas, kalo udah jam-jam yang bikin mata merem melek, pak Bintang sering keluarkan jurusnya. cletukan-cletukan obat kantuk. hemmm, gudjobs pak.... lanjutkan.

Lagi-lagi ada bapak-bapak muda nih, MAS EKO. gag keliatan kalo udah nikah kan? siapa ndak setuju dengan statement ini tunjuk jari??????? hahay.... Mas Eko dateng dari Lasem, tapi kayae udah terlanjur jatuh hati di Semarang. ndak mau balik ke negeri asal. speaking englishnya mangstabb choy.... cas cis cus....

Next ada temen sejolinya Mas Eko. speaking englishnya jugag ndak kalah sama kembar siyamnya, heheh... udah kayak native speaker ajah... padahal dateng dari Purwodadi loh. Keren ndak??????? eh, eh.... namanya lupa disebut. who is he??? MAS CARNA.

The last, ada BANG MALIK, nyang ngakunya lebih suka di panggil Malik daripada Jamal. biar lebih sesuatu gitu katanya. eleh eleh.... Syahrini bangetz. Dari logat bicaranya bisa ditebak bukan anak semarangan. kalo ndak salah dia dari bekaaassss.....bekas apa bang? uhya, bekasi ding, hehe...

yups, lengkap sudah cerita dari photo ini. silahkan ditunggu kisah dari photo-photo di periode selanjutnya...

Jumat, 11 November 2011

A CUP OF COFFEE IN THE CAFÉ


Aku masih ingat. Saat itu di luar begitu dingin. Aku dapat melihatnya dari kaca tembus pandang yang menjadi dinding-dinding kafe tempatku mencari lembaran-lembaran dolar. Beberapa air menitik dari langit, sisa hujan tadi siang. Kabut menutupi indahnya senja yang biasanya menjadi magnet penarik orang-orang untuk berdatangan di kafe ini. Ada yang hanya memesan segelas lemon tea, menatap langit yang sudah nampak jingga dengan matanya yang sendu, sambil mengaduk-aduk minumannya perlahan. Ada juga yang datang beramai-ramai, memesan berbagai menu yang kami sediakan. Mereka tampaknya para nyonya besar yang hidupnya bergelimang harta. Pembicaraannya mulai dari salon kecantikan sampai berlian yang dikenakan Kate Middleton saat menikah dengan Pangeran William. Ada juga yang berduaan, memilih tempat yang menurut mereka tak akan tersinari oleh senja. Mereka bercumbu, tanpa malu. Padahal sang jingga masih bisa mengintip mereka dari celah-celah yang ada. Ah, orang-orang yang datang ke kafe ini memang aneh-aneh. Emm… maaf para pelangganku yang terhormat. Bukan maksudku memperhatikan apa yang kalian lakukan, tapi mata ini tanpa sadar telah merekamnya. Dan kini terputar lagi memory itu.

Saat itu, mungkin senja merasa kedinginan akibat hujan tadi sehingga kabut menyelimutinya. Biasanya di saat hujan seperti ini, kafe menjadi sunyi. Hanya ada lagu-lagu mellow yang mengiringi sepi. Mungkin orang-orang pada malas beranjak dari rumah maupun kantor. Mereka memilih layanan delivery untuk mengisi perut mereka. Tapi beda sekali di periode jingga waktu itu. Kafe lumayan penuh, hampir semua meja terisi. Sebagian besar adalah tamu yang sudah kuhafal wajahnya karena seringnya bertandang ke sini. Beberapa masih tampak asing, dan kamu adalah salah satu dari mereka.

Aku masih ingat rambutmu yang agak panjang, sekitar sebahu kalau tidak salah. Bahkan lebih panjang dari rambutku. Potongan rambutku lebih mirip laki-laki. Hahaha, mungkin udah jamannya kebalik. Yang laki-laki berpenampilan seperti perempuan, yang perempuan bergaya laki-laki. Semua pelayan sibuk melayani tamu, dan hanya tersisa aku. Ketika aku berjalan menghampiri mejamu, kamu tengah sibuk di depan komputer lipatmu. Yah, memang kafe ini dilengkapi dengan fasilitas hotspot. Kalau boleh menebak, mungkin kamu lagi chatting dengan kekasihmu yang berada di luar negeri sana. Ups maaf, padahal aku tak tahu siapa dirimu tapi sudah lancang menebak-nebak.

“Permisi.” Aku memulai percakapanku denganmu, sama ketika aku memberikan sapaan pertama kepada setiap pelanggan. Namun kau tak memberikan respon apa pun, seakan tak mendengar ada suara menyapa. Bahkan matamu tak lepas dari layar laptop. Tanganmu sibuk memencet-mencet huruf pada keyboard. Mulut bergumam lirih, entah apa.

“Permisi.” Aku mengulangi lagi kata-kataku. Meskipun kamu masih saja seperti tadi, aku tak akan lagi menunggu. Langsung saja kulanjutkan pertanyaan berikutnya, seperti pertanyaan yang selalu kuajukan pada para pelanggan.

Ada yang ingin Anda pesan ?” aku menyodorkan daftar menu yang kami sediakan di sini. Sepertinya kamu baru menyadari keberadaanku. Kamu menatapku tanpa senyum. Walaupun begitu, aku harus tetap tersenyum padamu. Kata bosku pemilik kafe ini, senyum adalah simbol keramahan. Dan itu menjadi salah satu daya jual tersendiri di kafe ini.

Lama sekali aku menunggumu memilih menu. Biasanya orang hanya butuh waktu lima menit untuk menentukan pilihan, tapi mengapa kali ini terasa lama sekali? Apalagi, tampaknya dari raut wajahmu seakan tak memiliki selera apa pun untuk dipesan.

“Emmmm…Maaf, ada yang ingin Anda pesan?” sepertinya kau tak suka aku bertanya lagi. Kamu melihatku lagi dengan tatapan yang hambar seperti tadi, tanpa senyum.

Duduklah” Apa-apaan ini? kamu malah menyuruhku duduk. Apa kamu tak tahu pelanggan lain sedang menunggu? Apa sedari tadi kamu tak memahami apa yang kukatakan? Atau memang tak ingin mendengar perkataanku?

“Maaf tuan, pelanggan yang lain sedang menunggu. Apakah masih lama memilih menunya?” tanyaku dengan nada lembut dan tetap kuberikan senyumku, meskipun sebenarnya hatiku tak ingin tersenyum. Yah, tapi begitulah. Senyuman adalah menu wajib yang harus selalu kami suguhkan pada para tamu kami. Kata bosku pemilik kafe ini, senyum adalah simbol keramahan. Dan itu menjadi salah satu daya jual tersendiri di kafe ini. Keramahan akan menjadi nilai plus untuk kafe ini. Kalimat itu yang selalu diulang-ulangnya di depan semua pelayan.

Secangkir kopi.

“Ada yang lain?” kamu menggeleng.

“Baiklah, kami akan menyuguhkan kopi terbaik. Silahkan tunggu, Tuan.”

*****

Aku tak pernah menduga sebelumnya kalau hubungan kita ini diawali dari secangkir kopi yang kau pesan dulu, saat aku masih menjadi salah satu pelayan di kafe yang pernah kau kunjungi. Aku masih ingat, selang lima menit setelah aku mengingat baik-baik pesananmu aku kembali menuju tempat dudukmu. Kali ini dengan secangkir kopi yang kau pesan. Memang bukan aku yang menyeduhnya, karena tugasku di sini hanya melayani dan mengantar pesanan.

“Ini pesanan Anda, Tuan. Silakan dinikmati.” Kataku undur diri.

“Tunggu sebentar.” kamu menghentikan langkahku.

“Ada yang ingin dipesan lagi, Tuan?”

“Tidak ada, duduklah.” Aku mengernyitkan kening. Apa maunya orang ini menyuruhku duduk.

“Maaf, tapi masih banyak pelanggan yang menunggu.”

“Sebentar saja.” Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menuruti kata-katamu, mataku menyapu sekeliling, sampai setiap sudut kafe ini. Mungkin akan banyak mata yang melihat, dan beberapa menjadikannya sebuah pembicaraan di antara mereka yang kehabisan topik. Apa yang dilakukan seorang pelayan duduk satu meja dengan tamunya. Ditambah lagi, mungkin rekan-rekan kerjaku bertanya-tanya mengapa aku di sini padahal masih banyak pelanggan yang perlu dilayani. Tapi entah mengapa, aku tak peduli.

Tiba-tiba aku telah duduk di hadapanmu. Meski sebenarnya hatiku ragu. Kulihat, matamu masih tak beralih dari layar laptop bahkan setelah aku duduk. Segitu asyiknya kah kamu mengobrol dengan kekasihmu lewat dunia maya itu, batinku.

“Ehemmm.” Aku bingung. Hanya hal itu yang kulakukan agar kamu menyadari bahwa aku telah mengikuti permintaanmu.

“Minumlah kopi itu.”

“Tapi… apa ada yang salah dengan kopi yang kami suguhkan? Itu tadi adalah kopi terbaik yang kami punya. Apa rasanya tidak enak? Emm… mungkin biar kami ganti saja.”

“Tak perlu, minumlah.” Aku meraih cangkir itu dan mulai meneguknya. Sebagai penggemar kopi, aku rasa tidak ada yang aneh. Perpaduan antara kopi luwak dan chocolate cream yang mantap. Manisnya pun pas.

“Kopi itu terasa pahit.” Katamu, ketika lidahku baru saja menikmati rasanya yang bisa membuatnya ketagihan.

“Maaf, tapi kopi ini sudah manis.” Bantahku usai meletakkan cangkir itu kembali.

“Buat apa secangkir kopi kalau tidak ada cinta yang tertuang di dalamnya? Kopi itu akan tetap saja terasa pahit.” Lanjutmu, dengan nada yang sangat datar, tanpa ekspresi. Matamu menatap pemandangan di luar. Seakan berharap senja menyembul dari balik kabut dan gerimis yang menyelimutnya.

“Apa Anda mempermainkan saja? Maaf saya tidak paham dengan apa yang Anda katakan. Masih banyak pelanggan yang menunggu. Permisi.” Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada dalam benakmu, inginmu. Hingga akhirnya kuputuskan mengakhiri percakapan di antara kita. Aku membungkukkan badan, dan meninggalkanmu. Kamu masih menatap senja yang bersembunyi dengan tatapan yang penuh kerinduan serta harapan yang begitu dalam, menurutku. Tapi itu hanya tebakanku tentu saja.

******

Aku masih ingat, pertemuan pertama antara kau dan aku di kafe tempatku bekerja itu sudah lama berlalu. Tapi memory-memory yang berserakan itu masih ku simpan, tidak hanya di buku diaryku tapi dalam hati dan juga pikiranku. Mulai hari itu kamu selalu datang berkunjung, lama-lama menjadi pelanggan tetap kami. Kamu selalu datang pada jam yang sama, dengan dandanan yang sama, dan selalu memesan meja yang berada tepat di sisi dinding kaca.

“Agar bisa melihat cuaca di luar, menanti senja.” Alasanmu.

Kamu selalu dengan posisi yang sama, menghadap pemandangan di luar. Berhari-hari, bahkan sampai musim berganti. Masih ingatkah kau? Dulu kamu datang ketika senja malu-malu bersembunyi di balik kabut dan gerimis. Tak terasa, sampai senja itu tersenyum manis ke arahmu. Dia ingin membuatmu tersipu malu terkena sorot cahayanya yang agak kemerahan. Namun tampaknya itu tak membuat raut wajahmu berubah dari saat pertama kali kamu datang. Datar, dingin, dan mata yang sendu. Sepertinya ada rindu di bola matamu. Entah apa yang kamu rindukan aku belum tahu saat pertama kita bertemu. Namun nanti waktu yang akan membuatku mengerti.

Semenjak pertemuan pertama kita, kamu tak ingin dilayani oleh orang lain kecuali aku, entah mengapa. Kamu selalu memesan kopi yang sama, kopi luwak dengan campuran chocolate cream, dengan gula yang agak banyak. Meski begitu, kamu selalu menyuruhku untuk duduk di hadapanmu, mengicipi kopi yang kusuguhkan padamu.

Le café est doux.” Kataku, setelah menyerutup kopi dalam cangkir yang kusuguhkan.

Amère.” Sergahmu.

Setelah waktu itu aku menyimpulkan kalau kau tak suka kopi yang kurang manis. Maka, setiap kamu berkunjung aku selalu berpesan pada chef untuk menambah gula pada cangkir pesananmu. Aku heran, kopi semanis ini selalu saja kau bilang pahit. Apa jangan-jangan lidah kita yang berbeda?

“Hemmm… apa memang benar lidah kita yang berbeda?” gumamku tak yakin.

Banyak waktu yang telah kuhabiskan denganmu di kafe itu. Meski aku pelayan, dan kau tamu. Aku tak peduli apa kata orang. Aku tak peduli bagaimana beberapa mata memperhatikan. Aku tetap menuruti inginmu, temanimu minum kopi yang selalu kau bilang pahit dan sangat manis di lidahku. Awalnya aku berpikir kalau lidah kita yang berbeda. Namun, begitu lama duduk bersamamu aku justru terpengaruh olehmu. Aku mengiyakan katamu. Aku ikut merasakan pahit yang kau rasa, karena perlahan kamu menyeretku ke dalam kenangan-kenangan masa lalumu. Seakan kamu menghipnotisku, membuatku rela kehilangan waktu hanya untuk menyimak kisahmu. Kamu mulai bercerita, dengan tatapan datar namun matamu mulai berkaca. Setiap hari kau bertamu, membawa serta kisahmu. Meninggalkannya menggantung, agar besok kau bisa datang kemari lagi melanjutkannya dan aku tak tahu kapan kisah itu akan berujung.

“Sekarang kamu setuju denganku?” tanyamu.

“Aku merasakan pahitnya. Mungkin memang benar, karena tak ada cinta yang tertuang dalam cangkir itu.” Kamu tersenyum puas, karena akhirnya aku membenarkanmu. Tanpa kusadari, ada harapan kecil untuk menyuguhkan secangkir kopi yang juga berisikan cinta di dalamnya.

*****

Aku masih ingat, bagaimana caramu bercerita. Selalu datar, dingin, tanpa ekspresi. Matamu selalu menatap senja di luar, yang saat itu ia ditemani debu yang tertiup angin. Kadang debu-debu itu banyak menempel di dinding kaca kafe kami, sedikit mengurangi keindahan senja. Kau tak pernah menatap mataku, seakan tak mengijinkanku untuk membaca perasaanmu lewat sorot mata yang kadang berkaca-kaca. Mungkin kau tak ingin disebut sebagai lelaki yang cengeng apalagi lemah. Tapi menurutku, air mata bukanlah masalah lemah dan kuat. Lelaki juga berhak menangis. Bukankah dulu kamu juga menangis keras ketika pertama kali dilahirkan ibumu?

“Aku durhaka pada ibu yang melahirkanku.” Kau mulai bercerita lagi ketika secara tak sengaja aku menyinggung soal ibumu. Entah hari ini sudah hari yang keberapa kamu bercerita, aku lupa menghitungnya.

“Tapi kini aku merindunya, ingin merasakan lagi kopi buatannya yang selalu ia suguhkan saat aku berkutat dengan puisi-puisiku. Kopi yang ia berikan padaku selalu terasa manis. Sangat terasa ada cinta yang begitu kental dalam setiap cangkirnya. Entah, berapa ribu cangkir yang ia berikan untukku. Aku bahkan lupa membayarnya dengan ucapan terima kasihku untuk setiap cangkirnya.” Kau berhenti sejenak, kini kau meneguk kopi yang kusuguhkan dan telah kuteguk juga tadi, atas permintaanmu.

“Awalnya, aku dilahirkan oleh puisi, tapi sayang diam-diam aku menikamnya sendiri.”

“Jadi, kau menyamakan ibumu dengan puisi?”

“Bahkan dia lebih suci dari puisi-puisi itu.”

“Ah, bahasamu terlalu tinggi, terlalu berpuisi. Susah untuk dicerna olehku yang tak pernah tahu dunia seperti itu. Aku tak terlahir dari puisi-puisi, sebagaimana dirimu.”

“Ibuku, seorang perempuan yang hebat. Selalu bersuara, membela kaumnya lewat puisi-puisi yang juga ia lahirkan. Banyak orang mengagumi sosoknya. Termasuk aku, anaknya.”

“Beranjak dewasa, aku mengikuti jejaknya. Berpuisi, menjual puisi. Dia begitu bangga padaku karena aku anaknya mewarisi hartanya yang paling berharga, puisi. Tapi, dia tak tahu kalau aku menjual puisi pada orang-orang berdasi itu. Orang-orang yang membuat perut mereka buncit dengan keringat para buruh, petani, kuli, mereka berlindung di balik puisiku. Aku tahu, ibu akan marah besar jika tahu. Makanya aku menyembunyikannya.”

“Menyembunyikan sampai sekarang?” tanyaku penasaran. Kamu tak langsung menjawab pertanyaanku. Seakan tak mendengarnya.

“Dia mengetahuinya, pada akhirnya.” Aku ikut merasakan sakit yang dirasakan perempuan, yang aku lebih suka memanggilnya ibu puisi karena kau tak pernah memberi tahuku namanya.

“Dia tak bisa memarahiku ketika tahu bahwa selama ini uang yang kugunakan untuk membiayai pengobatannya adalah hasil dari menjual puisiku. Dia tak bisa marah, tapi aku tahu dadanya merasakan sakit yang sangat. Hingga akhirnya, ia sakit untuk selamaya. Sakit itu ia bawa sampai ia menutup mata. Mungkin ia membenciku selamanya.” Tiba-tiba ada buliran bening mengalir perlahan dari sudut matamu.

“Kau tahu, aku menikamnya sendiri. Aku hidup dalam penyesalanku seumur hidup. Aku tak bisa lagi merasakan kopi manis buatannya, yang dipenuhi cinta. Semua kopi yang kurasakan terasa pahit, sepahit penyesalan yang lama-lama akan membunuhku juga.”

Kau tak melanjutkan kisahmu. Dengan langkah terburu kau meninggalkan kafe ini, tak tahu mau kemana. Dalam hati, aku menunggu esok hari. Menunggu kisahmu lagi. Dan juga, aku ingin menyuguhkan kopi meski tak semanis buatan ibu puisimu, setidaknya tak lagi pahit. Aku ingin membubuhkan cinta dalam cangkir pesananmu. Biar besok tanganku sendiri yang menyeduhnya, khusus untukmu. Aku tak ingin rasa pahit itu membunuhmu perlahan. Aku masih ingin mendengar ceritamu.

*****

Dan aku masih sangat ingat, hari esok yang kutunggu. Saat senja mulai mengintip dari balik dinding kaca. Aku sudah bersiap untuk menyeduh kopi untukmu, dengan tanganku sendiri. Sesuai janjiku kemarin. Aku sudah tak sabar menunggu hadirmu. Mataku selalu melirik jarum jam dinding. Hatiku tak tenang setiap melayani pelanggan. Kamu tak juga datang, hingga senja menghilang. Aku mulai cemas. Malam semakin larut, kau tak juga kutemukan di meja tempat biasa kau memesan secangkir kopi. Entahlah, kau mulai menghilang juga seperti senja yang telah meninggalkan waktu.

Tiba-tiba hatiku ingin duduk di meja yang biasa kau duduki. Saat itu pelanggan sudah mulai meninggalkan kafe. Para pelayan juga sudah siap membereskan. Aku duduk lemas. Dan aku melihat ada secarik kertas di mejamu.

Kesepian itu mantra pertama yang harus kaugagalkan. Kalau mantra itu sampai terbaca, oleh siapa pun, jangan salahkan orang yang tiba-tiba hendak memberi sedikit kenangan.
Maaf, sepertinya aku gagal mengalahkan kekuatan mantra kesepian, juga penyesalan. Hingga aku membiarkanmu masuk dalam kenangan-kenangan itu.
Pemesan kopi
*****
Aku tahu, kejadian itu telah berlalu begitu lama. Ketika aku masih menjadi pelayan kafe. Namun, kenangan yang berserakan itu masih tersimpan rapi dalam hati, juga ingatanku. Setiap senja, aku bersiap menyeduh kopi untukmu. Kububuhi serbuk cinta dari dalam hatiku. Sejak dulu, sampai kini umurku menua. Aku hanya ingin kau tahu.
Semarang, 11 October 2011 02:30
Untuk seseorang yang kucinta, darimu aku menjadi tahu duniamu. Kau adalah puisiku. Dan aku ingin, kau menyanyikan sebuah lagu untukku, puisi.

Sabtu, 08 Oktober 2011

SENI DI BAWAH BAYANGAN POLITIK BUDAYA


Judul buku : Seni Pertunjukan Indonesia Suatu Politik Budaya

Penulis : Julianti Parani

Penerbit : Nalar

Cetakan : I, Juni 2011

Tebal : 169 hal

Harga : Rp.50.000,-

Indonesia sangat terkenal dengan ragam budayanya. Ini bisa dibuktikan dengan adanya lagu daerah serta tarian-tarian tradisional yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Seni pertunjukan, sebagai bagian dari kebudayaan itu sendiri pun turut mewarnai. Seni pertunjukan ini memiliki perjalanan sejarah seiring berjalannya waktu. Ia mengalami perubahan-perubahan yang bisa dikatakan berdasarkan adanya campur tangan dari para penguasa politik.

Hal ini bisa dirasakan ketika seni pertunjukan, tari misalnya , seakan tak lagi memiliki kesakralannya. Fungsi tradisionalnya berupa ritual prosesional suatu pertunjukan yang berkaitan dengan perayaan kebudayaan nasional kini telah bergeser pada pertunjukan yang bisa dinikmati sebagai hiburan belaka, tanpa bisa dirasakan segi estetika dan nilai spiritualnya.

Berdasarkan pengamatan penulis, Julianti Parani, perubahan tersebut bermula dengan penetrasi bangsa Eropa yang mempengaruhi paham politik dan kebijakan kebudayaan. Kandungan ritual seni pertunjukan telah dicampuradukkan dengan aspek budaya yang non-artistik atau non-seni, seperti politik, bisnis, hingga kepentingan ambivalen. Menurutnya, kesenian pada masa kini menjadi bagian dari nasionalisme bangsa dan negaranya. Sedangkan nasionalisme dalam kehidupan politik tidak bisa disamakan dengan nasionalisme dalam kebudayaan sebagaimana implementasinya berupa politik kebudayaan karena hal ini ternyata dapat memporak-porandakan hegemoni budaya yang merupakan warisan.

Satu hal penting yang menjadi kajian utama Julianti dalam buku ini adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada perkembangan seni pertunjukan yang mungkin terjadi pada masa pemerintahannya. Misalnya saja pada pemerintahan Presiden Soekarno, fokus kebudayaan terletak pada ke-Indonesia-an dengan berpedoman pada falsafah pancasila, atau lebih keras lagi pada politik Nasakom yang kemudian berlaku terhadap kesenian. Dan ketika politik memanas hingga lengsernya Soekarno, terjadi perang ideologi yang berakar pada tumbuhnya partai politik yang menyebabkan adanya kubu-kubu kebudayaan yang saling menjatuhkan. Tapi dampak positif dari kejadian ini, berbagai sekolah kesenian bermunculan.

Strategi kebudayaan berikutnya, pada pemerintahan Soeharto mempertimbangkan faktor sosial-politik serta menggarisbawahi peranan pendidikan dalam membangun komunitas budaya sebagai inti integrasi nasional. Strategi yang terkemas apik dalam program-program Pelita ini ternyata sangat bertolak belakang dengan implementasinya. Akibatnya, timbullah kekecewaan dari para seniman kondang seperti W.S.Rendra, Nano Riantiarno, Arifin C.Noer yang memanaskan telinga pemerintah melalui karya-karyanya.

Mengenai perkembangan seni tari, Julianti yang memiliki latar belakang seorang penari mengatakan bahwa sebagai akibat politik kebudayaan pada masa Ode Baru yang mengusung modernisasi menimbulkan potongan-potongan tari tradisional yang lepas dari konteksnya. Seni pertunjukan ini pun mulai mengarah pada kepentingan birokratisasi dan ekonomisasi. Pengayoman terhadap kehidupan seni masih berorientasi pada faktor ekonomi dengan mengabaikan nilai spriritual yang tidak bisa diukur dengan kacamata ekonomi.

Julianti, seorang yang tertarik dengan dunia sejarah secara runtut memaparkan perubahan yang dialami seni pertunjukan khususnya seni tari akibat kebijakan pemerintah semenjak akhir masa kolonial hingga setelah kemerdekaan. Pengungkapan kenyataan sejarah ini seakan ingin menyadarkan pembaca agar membuka pikiran untuk bisa menyeimbangkan aspirasi artistik dan berbagai kepentingan non-seni seperti politik, kekuasaan, dan hegemoni. Dari sudut pandang sejarahnya yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah inilah yang membuat buku ini menarik karena hal ini jarang sekali disorot oleh para pengkaji seni dan budaya.

Bagi warga Indonesia yang mencintai seni dan budaya yang dimiliki negeri ini, buku Seni Pertunjukan Indonesia layak menjadi bacaan sebagai introspeksi dari masa lalu. Buku ini bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sejarah yang lebih baik bagi perkembangan pertunjukan seni. Apakah perkembangan seni ini akan mengalami kemajuan ataukah justru kemunduran? Jawaban dari pertanyaan inilah yang sekarang ini menjadi tanggung jawab kita bersama.

Sabtu, 02 April 2011

IGAUANKU

Entah mengapa, tiba-tiba keinginan itu terasa begitu kuat. Semakin hari, ia bertambah liar menjalar. Mengisi setiap denyut nadiku, bahkan sampai ketika aku memejamkan mata barang sejenak. Ingin itu menyelinap diam-diam dalam mimpiku, tanpa proses ijin yang rumit seperti ketika hendak memasuki istana negara. Ia bahkan dengan mudahnya, menghipnotisku untuk selalu menggumam, menyebutnya dalam igauku. Entahlah, tapi hatiku tak keberatan.

Kamu, adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku merasa kita memiliki tulang yang sama. Kamu orang yang pertama kali aku lihat ketika aku terbangun dari lelapku. Kamu orang yang terakhir ditangkap oleh retina mataku sebelum ia istirahat dari kerjanya seharian. Kamu selalu mendengarku mengigau, setiap malam. Telingamu begitu tajam, walau matamu terpejam. Meski aku tak sadar dalam igauku, tapi aku tahu bahwa kamu selalu mendengarnya. Paginya kamu selalu menyapaku dengan kalimat yang sama, “Semalam mengigau lagi.”

Aku hanya tersenyum mendengar sapaan yang sama, tak merasa jenuh, bukankah setiap pagi ayam selalu berkokok dengan nada yang sama? Aku begitu bahagia dengan mimpiku semalam yang membuatku selalu mengigau. Tapi dari raut wajahmu, kamu mengatakan bahwa kamu bosan.

“Aku akan selalu mengigau selama ingin itu belum terpenuhi. Aku yakin, ia akan selalu menghantuiku, menari sesuka hati di mimpiku, dan setiap malam akan menjadi sebuah lagu yang mengiringi tidurmu.”

“Ah, ia selalu membangunkanku. Lebih berisik dari suara tangisan bayi di keheningan malam.”

“Itu pilihanmu. Sudah berkali-kali aku memintamu untuk memenuhi keinginanku tapi kamu selalu memiliki senjata untuk menepis inginku. Setiap pagi kamu mengkongkang pistolmu, dan peluru-pelurumu menghancurleburkan mimpi itu.”

“Ah, persetan dengan pilihan. Enyahkanlah inginmu itu.”

“Tidak. Ia tak akan bisa enyah selama kamu belum membayar apa yang kumau. Igau itu akan menggerogoti tubuhmu yang menjadi insomnia.”

“Shit!!!… Itu hanya igauan. Aku tak ingin peduli.”

Setiap pagi, sapaan yang selalu sama itu akan berujung perdebatan yang juga selalu sama, yang membuat kamu dan aku bertengkar. Pada akhirnya, dengan adegan yang sama kamu akan meninggalkanku dan membanting daun pintu begitu kerasnya. Kamu menghilang, tak pulang seharian, namun ketika larut malam karena aku tahu kamu masih ingin dalam pelukku. Kamu masih ingin menikmati tubuhku yang katamu selalu kau cintai.

Aku tahu, aku keras kepala. Tapi ingin ini sudah berakar lama, ia yang selalu merasuki jiwaku untuk selalu menciptakan pertengkaranku denganmu. Aku kadang menyesali pertengkaran ini. Terkadang juga aku takut kau tak akan kembali. Tapi kamu telah banyak bersilat lidah selama ini. Aku yang menyesal, tapi ingin itu yang selalu memberontak hingga aku seperti orang kesurupan. Aku meludahi wajahmu, aku membakar semua gambar wajahmu yang selalu menampakkan senyum palsu, juga cinta palsu. Aku berteriak-teriak mengumpat, mengeluarkan semua serapah di hadapanmu. Tak ingat lagi bahwa aku pernah mencintaimu. Tak ingat lagi akan kata-kata manismu yang akhirnya selalu membuatku mengulum bibirmu.

Aku teringat saat pertama kali keinginan itu mencoba untuk berdialog denganmu. Saat itu kita berada di sebuah café tempat biasa kita bertemu. Café yang cocok untuk para remaja yang sedang kasmaran seperti kita. Suasana yang romantis dengan diiringi lagu barat yang beraliran mellow, hidangan yang membuat lidah ketagihan, serta pendingin ruangan yang membuat para pelanggannya betah untuk berlama-lama. Seperti kita, apalagi di luar sana sang surya sedang menampakkan amarahnya tak lagi bersahabat dengan manusia. Mungkin karena tingkah manusia yang membuatnya mengganas seperti itu.

Aku masih ingat sekali, saat itu kita sedang menikmati eskrim kesukaanku. Sebenarnya dulu sebelum mengenalku kamu tak terlalu suka makan eskrim. Tapi hobyku yang satu ini mempengaruhimu. Aku memesan rasa coklat, kamu vanilla. Aku minta disuapi eskrim punyamu dengan manja, begitu juga kamu. Kita jadi seperti sepasang pengantin di atas pelaminan yang saling menyuapi mengikuti adat jawa. Kita tertawa riang ketika bibir kita jadi belepotan karena tangan kita menyengaja agar eskrim itu melumuri seluruh bibir kita. Dan pasti setelah itu kamu akan menjilati bibirku yang belepotan, membersihkannya dengan lidahmu. Begitu juga aku.

Dan aku masih ingat, ketika semua itu telah usai. Aku menggenggam erat tanganmu, seakan ingin menguatkanmu. Aku tahu bahwa keinginan itu akan memulai untuk berdialog denganmu. Aku khawatir ia akan menghantammu bagai suara petir yang menggelegar dan membuatmu goyah. Aku menggenggammu lebih erat.

“My honey, do you love me?” aku menatap matamu begitu dalam. Menelusurinya, mencari jawaban di sana.

“Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu meragukan cintaku selama ini?” katamu dengan nada agak tinggi dan kemudian kau lepaskan genggamanku. Memang selama ini tak pernah ada kalimat tanya seperti yang barusan aku ajukan. Selama ini kita saling percaya, dan menyampaikan bahasa cinta lewat malam-malam yang selalu terasa berpurnama. Malam yang terasa hanya milik kit berdua.

“Bukan begitu maksudku. Aku cuma takut kalau kamu meninggalkanku.”

“Tidak akan, sayang.” Ucapnya agak lembut.

“Kalau begitu berjanjilah kamu akan menikahiku.”

Kamu tak berani melihat mataku, takut kalau aku melihat keraguan di matamu. Kamu lebih memilih untuk mengalihkan pandanganmu ke arah pepohonan di luar yang sebagian daunnya tampak menguning, sebagian lainnya kering dan kemudian berjatuhan tertiup angin.

“Aku tak bisa berjanji.” Katamu dengan suara agak parau.

“Mengapa? Bukankah kamu sangat mencintaiku?” sergahku.

“Iya, aku akan mengusahakannya.”

Malam setelah keinginan itu berdialog denganmu yang berujung ketidakpastian itu, terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya yang kita lalui bersama. Setiap malam setelah percakapan antara kamu dan keinginan itu, aku selalu mengigau. Keinginan itu selalu hadir lewat mimpi-mimpiku, mengusik tidurmu. Membuatmu terkena sindrom insomnia. Mungkin ia akan berhenti setelah ada kepastian untuknya. Dan kepastian itu ada ditanganmu, kepastian itu pilihanmu.

Awal mulanya kamu menghiraukan igauanku. Malam pertama, kedua, ketiga. Kamu tak merasa terusik.

“Ah, mungkin itu hanya karena kecapekan. Nanti juga hilang.” Batinmu menghibur diri, ketika kamu mulai merasa agak terganggu di hari keempat.

Ternyata igauan itu tak hilang juga, bahkan sampai hari sering berganti. Sejak saat itulah kamu sering menyapaku di pagi hari dengan sapaan yang sama “semalam mengigau lagi” seperti suara kokok ayam yang juga selalu sama ketika fajar menyingsing. Sapaan yang sama, yang selalu berujung dengan pertengkaran yang sama.

“Sudahlah, aku muak dengan igaumu itu.” Katamu di salah satu pertengkaran setelah sapaan pagi yang selalu sama. Entah itu pertengkaran di hari yang ke berapa, aku tak ingat.

“Ia ada karena kamu yang membuatnya ada. Kamu yang memanggilnya untuk masuk ke dalam mimpimu. Bukankah aku sudah bilang dari dulu kalau aku tak bisa berjanji.”

“Justru karena kamu tak bisa berjanji itulah.”

“Aku mencintaimu, tapi sulit untuk menikahimu. Dari awal kita bertemu kamu kan sudah tahu kalau aku sudah berkeluarga. Ditambah lagi, karirku sedang mencapai puncak tertinggi Himalaya. Namaku sedang dielu-elukan oleh orang-orang yang mau dibodohi di luar sana. Lalu, apa kata dunia kalau seorang yang menjadi idola, yang selalu mereka hujani dengan sanjungan dan pujian ternyata menikah lagi dengan salah seorang mantan pelacur.”

Plakkk… tiba-tiba telapak tanganku telah mendarat di pipinya. Ia meringis merasakan ruas-ruas jariku yang masih tertinggal di sana.

“Shitt!!! Dasar laki-laki buaya. Persetan dengan karirmu. Kamu tahu? Keinginan itu selalu hadir karena ia sangat butuh kepastian. Aku sedang hamil, mengandung anakmu.” Jeritku, karena aku mulai meradang.

“Itu bukan anakku. Mungkin itu hasil kamu melacur di tempat lain.”

“Kurang ajar. Aku sudah berhenti melacur semenjak mengenalmu karena aku mencintaimu.”

“Aku hanya mencintai tubuhmu.”

Pyaaarrr…. Aku membanting frame yang berisikan photoku yang sedang berciuman denganmu. Aku semakin membenci episode yang sedang kulakoni saat ini.

“Gugurkan saja.” Katamu tanpa ada beban seraya melayangkan secarik cek dan selanjutnya kamu melenggang pergi, tanpa membanting daun pintu.

***

Beberapa malam kamu tak kembali. Mungkin karena kamu tak lagi mencintai tubuhku. Atau mungkin karena ada seorang bocah yang mulai tumbuh dalam janinku, hasil sumbangan spermamu di malam-malam itu. Atau mungkin kamu takut untuk mendengar igauanku yang selalu minta dipenuhi. Atau mungkin kalaupun akhirnya igauan itu telah berhenti karena kamu memenuhinya, kamu takut mendengar tangisan bocah ini di setiap pertengahan malam. Bayi tak berdosa yang menangis minta susu, atau karena mengompol. Mungkin saja.

Malam semakin larut. Aku galau dengan beberapa kemungkinan yang memenuhi benakku. Aku mengelus-elus perutku. Tiba-tiba aku mendengar bel apartemenku berbunyi. Aku beranjak membukanya. Dan kudapati dirimu berdiri tepat di depanku.

“Oh, kamu. Mau menghinaku lagi?” sambutku dengan nada ketus.

“Aku menyesali kesalahanku. Maafkan aku.”

“Semudah itukah?”

“Aku akan menikahimu. Biarkan aku masuk. Aku merindukanmu.” Belum sempat aku mempersilahkan, kamu telah mengisolasi mulutku dengan kecupanmu hingga aku tak bisa berkata-kata. Kamu menutup pintu apartemenku dengan tendangan kakimu. Kamu merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang telah beberapa malam kita lewatkan. Tanganmu meraih saklar lampu, mematikannya. Sesuatu yang tak pernah kamu lakukan setiap kita bercinta. Biasanya kau biarkan cahaya-cahaya itu menyala. ‘Biar tampak seperti istana yang megah dipenuhi gemerlap lampu’, katamu suatu waktu.

Kamu mematikan semua cahaya. Hanya ada sinar bulan yang menyusup dari celah jendela, seakan malu untuk menyaksikan kita bercumbu. Awalnya aku mengira, mungkin kamu ingin suasana yang romantis untuk babak kali ini. Tak ada yang mengusik. Tak ada suara, kecuali hembusan nafas kita. Aku tersenyum karena perkiraanku. Namun sejenak, hembusan nafasku berhenti. Kamu membunuhku.

11: 24 PM

Ngaliyan, 30 Maret 2011

Tercipta untuk para kaum hawa…