Aku masih ingat. Saat itu di luar begitu dingin. Aku dapat melihatnya dari kaca tembus pandang yang menjadi dinding-dinding kafe tempatku mencari lembaran-lembaran dolar. Beberapa air menitik dari langit, sisa hujan tadi siang. Kabut menutupi indahnya senja yang biasanya menjadi magnet penarik orang-orang untuk berdatangan di kafe ini. Ada yang hanya memesan segelas lemon tea, menatap langit yang sudah nampak jingga dengan matanya yang sendu, sambil mengaduk-aduk minumannya perlahan. Ada juga yang datang beramai-ramai, memesan berbagai menu yang kami sediakan. Mereka tampaknya para nyonya besar yang hidupnya bergelimang harta. Pembicaraannya mulai dari salon kecantikan sampai berlian yang dikenakan Kate Middleton saat menikah dengan Pangeran William. Ada juga yang berduaan, memilih tempat yang menurut mereka tak akan tersinari oleh senja. Mereka bercumbu, tanpa malu. Padahal sang jingga masih bisa mengintip mereka dari celah-celah yang ada. Ah, orang-orang yang datang ke kafe ini memang aneh-aneh. Emm… maaf para pelangganku yang terhormat. Bukan maksudku memperhatikan apa yang kalian lakukan, tapi mata ini tanpa sadar telah merekamnya. Dan kini terputar lagi memory itu.
Saat itu, mungkin senja merasa kedinginan akibat hujan tadi sehingga kabut menyelimutinya. Biasanya di saat hujan seperti ini, kafe menjadi sunyi. Hanya ada lagu-lagu mellow yang mengiringi sepi. Mungkin orang-orang pada malas beranjak dari rumah maupun kantor. Mereka memilih layanan delivery untuk mengisi perut mereka. Tapi beda sekali di periode jingga waktu itu. Kafe lumayan penuh, hampir semua meja terisi. Sebagian besar adalah tamu yang sudah kuhafal wajahnya karena seringnya bertandang ke sini. Beberapa masih tampak asing, dan kamu adalah salah satu dari mereka.
Aku masih ingat rambutmu yang agak panjang, sekitar sebahu kalau tidak salah. Bahkan lebih panjang dari rambutku. Potongan rambutku lebih mirip laki-laki. Hahaha, mungkin udah jamannya kebalik. Yang laki-laki berpenampilan seperti perempuan, yang perempuan bergaya laki-laki. Semua pelayan sibuk melayani tamu, dan hanya tersisa aku. Ketika aku berjalan menghampiri mejamu, kamu tengah sibuk di depan komputer lipatmu. Yah, memang kafe ini dilengkapi dengan fasilitas hotspot. Kalau boleh menebak, mungkin kamu lagi chatting dengan kekasihmu yang berada di luar negeri sana. Ups maaf, padahal aku tak tahu siapa dirimu tapi sudah lancang menebak-nebak.
“Permisi.” Aku memulai percakapanku denganmu, sama ketika aku memberikan sapaan pertama kepada setiap pelanggan. Namun kau tak memberikan respon apa pun, seakan tak mendengar ada suara menyapa. Bahkan matamu tak lepas dari layar laptop. Tanganmu sibuk memencet-mencet huruf pada keyboard. Mulut bergumam lirih, entah apa.
“Permisi.” Aku mengulangi lagi kata-kataku. Meskipun kamu masih saja seperti tadi, aku tak akan lagi menunggu. Langsung saja kulanjutkan pertanyaan berikutnya, seperti pertanyaan yang selalu kuajukan pada para pelanggan.
“Ada yang ingin Anda pesan ?” aku menyodorkan daftar menu yang kami sediakan di sini. Sepertinya kamu baru menyadari keberadaanku. Kamu menatapku tanpa senyum. Walaupun begitu, aku harus tetap tersenyum padamu. Kata bosku pemilik kafe ini, senyum adalah simbol keramahan. Dan itu menjadi salah satu daya jual tersendiri di kafe ini.
Lama sekali aku menunggumu memilih menu. Biasanya orang hanya butuh waktu lima menit untuk menentukan pilihan, tapi mengapa kali ini terasa lama sekali? Apalagi, tampaknya dari raut wajahmu seakan tak memiliki selera apa pun untuk dipesan.
“Emmmm…Maaf, ada yang ingin Anda pesan?” sepertinya kau tak suka aku bertanya lagi. Kamu melihatku lagi dengan tatapan yang hambar seperti tadi, tanpa senyum.
“Duduklah” Apa-apaan ini? kamu malah menyuruhku duduk. Apa kamu tak tahu pelanggan lain sedang menunggu? Apa sedari tadi kamu tak memahami apa yang kukatakan? Atau memang tak ingin mendengar perkataanku?
“Maaf tuan, pelanggan yang lain sedang menunggu. Apakah masih lama memilih menunya?” tanyaku dengan nada lembut dan tetap kuberikan senyumku, meskipun sebenarnya hatiku tak ingin tersenyum. Yah, tapi begitulah. Senyuman adalah menu wajib yang harus selalu kami suguhkan pada para tamu kami. Kata bosku pemilik kafe ini, senyum adalah simbol keramahan. Dan itu menjadi salah satu daya jual tersendiri di kafe ini. Keramahan akan menjadi nilai plus untuk kafe ini. Kalimat itu yang selalu diulang-ulangnya di depan semua pelayan.
“Secangkir kopi.”
“Ada yang lain?” kamu menggeleng.
“Baiklah, kami akan menyuguhkan kopi terbaik. Silahkan tunggu, Tuan.”
*****
Aku tak pernah menduga sebelumnya kalau hubungan kita ini diawali dari secangkir kopi yang kau pesan dulu, saat aku masih menjadi salah satu pelayan di kafe yang pernah kau kunjungi. Aku masih ingat, selang lima menit setelah aku mengingat baik-baik pesananmu aku kembali menuju tempat dudukmu. Kali ini dengan secangkir kopi yang kau pesan. Memang bukan aku yang menyeduhnya, karena tugasku di sini hanya melayani dan mengantar pesanan.
“Ini pesanan Anda, Tuan. Silakan dinikmati.” Kataku undur diri.
“Tunggu sebentar.” kamu menghentikan langkahku.
“Ada yang ingin dipesan lagi, Tuan?”
“Tidak ada, duduklah.” Aku mengernyitkan kening. Apa maunya orang ini menyuruhku duduk.
“Maaf, tapi masih banyak pelanggan yang menunggu.”
“Sebentar saja.” Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menuruti kata-katamu, mataku menyapu sekeliling, sampai setiap sudut kafe ini. Mungkin akan banyak mata yang melihat, dan beberapa menjadikannya sebuah pembicaraan di antara mereka yang kehabisan topik. Apa yang dilakukan seorang pelayan duduk satu meja dengan tamunya. Ditambah lagi, mungkin rekan-rekan kerjaku bertanya-tanya mengapa aku di sini padahal masih banyak pelanggan yang perlu dilayani. Tapi entah mengapa, aku tak peduli.
Tiba-tiba aku telah duduk di hadapanmu. Meski sebenarnya hatiku ragu. Kulihat, matamu masih tak beralih dari layar laptop bahkan setelah aku duduk. Segitu asyiknya kah kamu mengobrol dengan kekasihmu lewat dunia maya itu, batinku.
“Ehemmm.” Aku bingung. Hanya hal itu yang kulakukan agar kamu menyadari bahwa aku telah mengikuti permintaanmu.
“Minumlah kopi itu.”
“Tapi… apa ada yang salah dengan kopi yang kami suguhkan? Itu tadi adalah kopi terbaik yang kami punya. Apa rasanya tidak enak? Emm… mungkin biar kami ganti saja.”
“Tak perlu, minumlah.” Aku meraih cangkir itu dan mulai meneguknya. Sebagai penggemar kopi, aku rasa tidak ada yang aneh. Perpaduan antara kopi luwak dan chocolate cream yang mantap. Manisnya pun pas.
“Kopi itu terasa pahit.” Katamu, ketika lidahku baru saja menikmati rasanya yang bisa membuatnya ketagihan.
“Maaf, tapi kopi ini sudah manis.” Bantahku usai meletakkan cangkir itu kembali.
“Buat apa secangkir kopi kalau tidak ada cinta yang tertuang di dalamnya? Kopi itu akan tetap saja terasa pahit.” Lanjutmu, dengan nada yang sangat datar, tanpa ekspresi. Matamu menatap pemandangan di luar. Seakan berharap senja menyembul dari balik kabut dan gerimis yang menyelimutnya.
“Apa Anda mempermainkan saja? Maaf saya tidak paham dengan apa yang Anda katakan. Masih banyak pelanggan yang menunggu. Permisi.” Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada dalam benakmu, inginmu. Hingga akhirnya kuputuskan mengakhiri percakapan di antara kita. Aku membungkukkan badan, dan meninggalkanmu. Kamu masih menatap senja yang bersembunyi dengan tatapan yang penuh kerinduan serta harapan yang begitu dalam, menurutku. Tapi itu hanya tebakanku tentu saja.
******
Aku masih ingat, pertemuan pertama antara kau dan aku di kafe tempatku bekerja itu sudah lama berlalu. Tapi memory-memory yang berserakan itu masih ku simpan, tidak hanya di buku diaryku tapi dalam hati dan juga pikiranku. Mulai hari itu kamu selalu datang berkunjung, lama-lama menjadi pelanggan tetap kami. Kamu selalu datang pada jam yang sama, dengan dandanan yang sama, dan selalu memesan meja yang berada tepat di sisi dinding kaca.
“Agar bisa melihat cuaca di luar, menanti senja.” Alasanmu.
Kamu selalu dengan posisi yang sama, menghadap pemandangan di luar. Berhari-hari, bahkan sampai musim berganti. Masih ingatkah kau? Dulu kamu datang ketika senja malu-malu bersembunyi di balik kabut dan gerimis. Tak terasa, sampai senja itu tersenyum manis ke arahmu. Dia ingin membuatmu tersipu malu terkena sorot cahayanya yang agak kemerahan. Namun tampaknya itu tak membuat raut wajahmu berubah dari saat pertama kali kamu datang. Datar, dingin, dan mata yang sendu. Sepertinya ada rindu di bola matamu. Entah apa yang kamu rindukan aku belum tahu saat pertama kita bertemu. Namun nanti waktu yang akan membuatku mengerti.
Semenjak pertemuan pertama kita, kamu tak ingin dilayani oleh orang lain kecuali aku, entah mengapa. Kamu selalu memesan kopi yang sama, kopi luwak dengan campuran chocolate cream, dengan gula yang agak banyak. Meski begitu, kamu selalu menyuruhku untuk duduk di hadapanmu, mengicipi kopi yang kusuguhkan padamu.
“Le café est doux.” Kataku, setelah menyerutup kopi dalam cangkir yang kusuguhkan.
“Amère.” Sergahmu.
Setelah waktu itu aku menyimpulkan kalau kau tak suka kopi yang kurang manis. Maka, setiap kamu berkunjung aku selalu berpesan pada chef untuk menambah gula pada cangkir pesananmu. Aku heran, kopi semanis ini selalu saja kau bilang pahit. Apa jangan-jangan lidah kita yang berbeda?
“Hemmm… apa memang benar lidah kita yang berbeda?” gumamku tak yakin.
Banyak waktu yang telah kuhabiskan denganmu di kafe itu. Meski aku pelayan, dan kau tamu. Aku tak peduli apa kata orang. Aku tak peduli bagaimana beberapa mata memperhatikan. Aku tetap menuruti inginmu, temanimu minum kopi yang selalu kau bilang pahit dan sangat manis di lidahku. Awalnya aku berpikir kalau lidah kita yang berbeda. Namun, begitu lama duduk bersamamu aku justru terpengaruh olehmu. Aku mengiyakan katamu. Aku ikut merasakan pahit yang kau rasa, karena perlahan kamu menyeretku ke dalam kenangan-kenangan masa lalumu. Seakan kamu menghipnotisku, membuatku rela kehilangan waktu hanya untuk menyimak kisahmu. Kamu mulai bercerita, dengan tatapan datar namun matamu mulai berkaca. Setiap hari kau bertamu, membawa serta kisahmu. Meninggalkannya menggantung, agar besok kau bisa datang kemari lagi melanjutkannya dan aku tak tahu kapan kisah itu akan berujung.
“Sekarang kamu setuju denganku?” tanyamu.
“Aku merasakan pahitnya. Mungkin memang benar, karena tak ada cinta yang tertuang dalam cangkir itu.” Kamu tersenyum puas, karena akhirnya aku membenarkanmu. Tanpa kusadari, ada harapan kecil untuk menyuguhkan secangkir kopi yang juga berisikan cinta di dalamnya.
*****
Aku masih ingat, bagaimana caramu bercerita. Selalu datar, dingin, tanpa ekspresi. Matamu selalu menatap senja di luar, yang saat itu ia ditemani debu yang tertiup angin. Kadang debu-debu itu banyak menempel di dinding kaca kafe kami, sedikit mengurangi keindahan senja. Kau tak pernah menatap mataku, seakan tak mengijinkanku untuk membaca perasaanmu lewat sorot mata yang kadang berkaca-kaca. Mungkin kau tak ingin disebut sebagai lelaki yang cengeng apalagi lemah. Tapi menurutku, air mata bukanlah masalah lemah dan kuat. Lelaki juga berhak menangis. Bukankah dulu kamu juga menangis keras ketika pertama kali dilahirkan ibumu?
“Aku durhaka pada ibu yang melahirkanku.” Kau mulai bercerita lagi ketika secara tak sengaja aku menyinggung soal ibumu. Entah hari ini sudah hari yang keberapa kamu bercerita, aku lupa menghitungnya.
“Tapi kini aku merindunya, ingin merasakan lagi kopi buatannya yang selalu ia suguhkan saat aku berkutat dengan puisi-puisiku. Kopi yang ia berikan padaku selalu terasa manis. Sangat terasa ada cinta yang begitu kental dalam setiap cangkirnya. Entah, berapa ribu cangkir yang ia berikan untukku. Aku bahkan lupa membayarnya dengan ucapan terima kasihku untuk setiap cangkirnya.” Kau berhenti sejenak, kini kau meneguk kopi yang kusuguhkan dan telah kuteguk juga tadi, atas permintaanmu.
“Awalnya, aku dilahirkan oleh puisi, tapi sayang diam-diam aku menikamnya sendiri.”
“Jadi, kau menyamakan ibumu dengan puisi?”
“Bahkan dia lebih suci dari puisi-puisi itu.”
“Ah, bahasamu terlalu tinggi, terlalu berpuisi. Susah untuk dicerna olehku yang tak pernah tahu dunia seperti itu. Aku tak terlahir dari puisi-puisi, sebagaimana dirimu.”
“Ibuku, seorang perempuan yang hebat. Selalu bersuara, membela kaumnya lewat puisi-puisi yang juga ia lahirkan. Banyak orang mengagumi sosoknya. Termasuk aku, anaknya.”
“Beranjak dewasa, aku mengikuti jejaknya. Berpuisi, menjual puisi. Dia begitu bangga padaku karena aku anaknya mewarisi hartanya yang paling berharga, puisi. Tapi, dia tak tahu kalau aku menjual puisi pada orang-orang berdasi itu. Orang-orang yang membuat perut mereka buncit dengan keringat para buruh, petani, kuli, mereka berlindung di balik puisiku. Aku tahu, ibu akan marah besar jika tahu. Makanya aku menyembunyikannya.”
“Menyembunyikan sampai sekarang?” tanyaku penasaran. Kamu tak langsung menjawab pertanyaanku. Seakan tak mendengarnya.
“Dia mengetahuinya, pada akhirnya.” Aku ikut merasakan sakit yang dirasakan perempuan, yang aku lebih suka memanggilnya ibu puisi karena kau tak pernah memberi tahuku namanya.
“Dia tak bisa memarahiku ketika tahu bahwa selama ini uang yang kugunakan untuk membiayai pengobatannya adalah hasil dari menjual puisiku. Dia tak bisa marah, tapi aku tahu dadanya merasakan sakit yang sangat. Hingga akhirnya, ia sakit untuk selamaya. Sakit itu ia bawa sampai ia menutup mata. Mungkin ia membenciku selamanya.” Tiba-tiba ada buliran bening mengalir perlahan dari sudut matamu.
“Kau tahu, aku menikamnya sendiri. Aku hidup dalam penyesalanku seumur hidup. Aku tak bisa lagi merasakan kopi manis buatannya, yang dipenuhi cinta. Semua kopi yang kurasakan terasa pahit, sepahit penyesalan yang lama-lama akan membunuhku juga.”
Kau tak melanjutkan kisahmu. Dengan langkah terburu kau meninggalkan kafe ini, tak tahu mau kemana. Dalam hati, aku menunggu esok hari. Menunggu kisahmu lagi. Dan juga, aku ingin menyuguhkan kopi meski tak semanis buatan ibu puisimu, setidaknya tak lagi pahit. Aku ingin membubuhkan cinta dalam cangkir pesananmu. Biar besok tanganku sendiri yang menyeduhnya, khusus untukmu. Aku tak ingin rasa pahit itu membunuhmu perlahan. Aku masih ingin mendengar ceritamu.
*****
Dan aku masih sangat ingat, hari esok yang kutunggu. Saat senja mulai mengintip dari balik dinding kaca. Aku sudah bersiap untuk menyeduh kopi untukmu, dengan tanganku sendiri. Sesuai janjiku kemarin. Aku sudah tak sabar menunggu hadirmu. Mataku selalu melirik jarum jam dinding. Hatiku tak tenang setiap melayani pelanggan. Kamu tak juga datang, hingga senja menghilang. Aku mulai cemas. Malam semakin larut, kau tak juga kutemukan di meja tempat biasa kau memesan secangkir kopi. Entahlah, kau mulai menghilang juga seperti senja yang telah meninggalkan waktu.
Tiba-tiba hatiku ingin duduk di meja yang biasa kau duduki. Saat itu pelanggan sudah mulai meninggalkan kafe. Para pelayan juga sudah siap membereskan. Aku duduk lemas. Dan aku melihat ada secarik kertas di mejamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar