Selasa, 24 Januari 2012

MALAIKAT PENCABUT NYAWA

Seorang bocah ingin sekali menyongsong pagi. Ia meringkuk dibawah tumpukan jerami, bersembunyi. Angin malam tak melewatkan setiap celah yang ia temukan. Tapi tampaknya ia gagal menembus pori-pori bocah itu. Kulihat, dahi bocah itu bercucuran peluh ketika telinganya mendengar derap kaki bersepatu. Kedengarannya mereka berombongan, dan sesekali ada suara kokangan senjata membuat si bocah semakin merunduk. Tangan kecilnya menyusun jerami-jerami itu untuk menyelimuti tubuhnya, pelan. Tak peduli nantinya ada kutu-kutu padi yang menggigit badan, yang ada dibenaknya hanya agar tak tertangkap oleh mata orang-orang bersenjata itu. Sekelompok pasukan yang telah mengusik mimpinya. Membangunkannya, dan mungkin akan membuatnya tertidur lagi untuk selamanya. Tapi sekali lagi, bocah itu masih ingin menyongsong pagi.

Derap kaki itu semakin terasa beberapa jengkal dari tempatnya. Ia memejamkan mata rapat. Bersiap kalau tangan mereka berubah menjadi tangan Izrail yang mengambil paksa nyawanya, seperti yang mereka lakukan pada bapak ibu si bocah beberapa jam lalu. Sebelum ia sempat berlari, setelah matanya nanar melihat tubuh orang tuanya tumbang terkena pukulan. Si bocah yang histeris membuat amarah segerombolan orang itu membuncah. Sekalian saja menambah daftar dalam buku pencabutan nyawa yang nantinya akan menjadi laporan rahasia pada pesuruh mereka. “Pesuruh mereka bukanlah Tuhan, karena mereka bukan Izrail”. Ingin sekali aku mengatakan ini pada bocah itu agar ia tak menggigil ketakutan. Tapi apa boleh buat, dia belum begitu paham tentang Tuhannya dan juga belum familiar dengan nama Izrail. Pasti susah untuk membuatnya mengerti. Yang dia tahu, mungkin dia akan segera menyusul bapak ibunya malam ini, dan kehilangan pagi.

Bocah itu tak tahu alasan yang tepat mengapa pasukan berseragam hitam itu melakukannya. Sebenarnya aku berniat memberitahunya sekarang, tapi nanti aku kan terbunuh juga bersama sang bocah. Dan dunia tak akan pernah tahu cerita ini. Kuurungkan niatku biar nanti waktu yang menuntunnya untuk tahu kalau memang malam ini bocah itu berhasil lolos dari tangan mereka, kuharap. Tapi yang kutakutkan, kalau tiba-tiba ia beringsut dari posisinya dan pasukan itu curiga ada mangsa mereka di balik jerami itu. Dan kau tahu pasti apa yang akan terjadi.

Dengan segala usahanya, bocah itu berhasil menyambut sapaan mentari. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mengintip dari balik celah jerami apakah pasukan hitam semalam telah pergi. Setelah memastikannya ia pun bangkit, membersihkan badannya dari sisa jerami yang masih menempel. Ia menggaruk-garuk tubuhnya, gatal. Ia baru teringat mengapa ia berada di tempat seperti ini. Memorinya me-replay tragedi semalam, dan kemudian tersedu. Ternyata ia tak setegar yang kukira. Tapi memang siapa yang tak akan menangis ketika orang tercinta pergi meninggalkannya. Ah, malang sekali nasibmu wahai bocah yang tak kutahu namamu.

Si bocah berjalan sempoyongan dengan tenaga yang tersisa menuju rumahnya ingin melihat bapak ibunya terakhir kali. Ternyata ia cukup jauh berlari semalam. Di persimpangan jalan, ada anak laki-laki seumurannya berpakaian kumal dengan topi sekolah dasar bekas yang juga sudah pudar warnanya. Ditangan kirinya ada setumpuk koran. Suaranya yang cempreng berusaha menerobos kebisingan jalan raya.

“Koran…. Koran…. Beli korannya pak.” Anak itu menawarkan dagangannya pada seorang bapak tua.

“Ada berita menarik Pak, seorang anggota DPR meninggal tadi malam. Sepertinya terpeleset dari tangga, tapi anehnya istrinya juga ikut meninggal. Ayo pak, beli korannya.” Kata si tukang loper koran merayu pembeli. Si bocah berhenti mengamati tukang koran cilik. Ia mempercepat langkah tak peduli teriakan dari perutnya.

Di halaman rumah banyak Styrofoam besar berjajar, bertuliskan turut berduka cita. Rumahnya telah dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, tanda duka. Namun itu justru mengingatkannya pada peristiwa semalam, membuat jantungnya berdegup kencang. Berpikir, kalau jangan-jangan segerombolan orang itu juga ada di sini menyamar menjadi pelayat. Ah, tapi pikiran itu ditepisnya. Bocah itu menerobos beberapa pelayat dan ia menangis lagi melihat tubuh orang tuanya yang terbujur kaku tak bernyawa. Tanpa ia sadari ada sepasang mata memperhatikannya, dan aku melihat sepasang mata itu terus menatapnya.

Usai pemakaman, para pelayat beranjak pergi. Tapi tidak dengan si bocah. Ia masih tertunduk di atas gundukan tanah yang tampak basah itu. Dalam tangisnya ia bergumam lirih, hingga angin pun tak mampu mendengarnya. Kemudian ia langsung mengusap air mata ketika ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Seorang laki-laki yang sangat ia kenal ikut jongkok di sampingnya. Laki-laki itu seumuran bapaknya, biasa ia panggil Pak Cik Gun. Nama aslinya Gunawan, sahabat bapaknya dari kecil dulu sampai kini menjabat sebagai anggota DPR.

“Seharusnya bapakmu menuruti kata-kataku. Seharusnya dia tidak menolak tawaranku. Atau seharusnya bapakmu tidak pernah terjun di dunia politik sama sekali. Beginilah jadinya.”

“Apa politik itu seperti malaikat pencabut nyawa?” tanya si bocah, polos. Pak Cik Gun tersenyum berarti.

“Tidak, kalau kamu bisa menjadi pencabut nyawa. Ah, kamu terlalu kecil untuk mengerti. Ayo pulang ke rumah Pak Cik, kamu pasti belum makan kan?”

“Aku masih ingin di sini. Pak Cik duluan, nanti aku menyusul.”

Pak Cik Gun menghempaskan jas hitamnya, melonggarkan ikatan dasinya. Dengan teriakan yang geram ia memanggil Eko, Parmin, Joko, Wawan, Santoso, dan Bejo, namaku. Karena yang dipanggil belum juga menghadap, Pak Cik Gun berulang kali berteriak. Dengan terbirit akhirnya keempat kawanku telah berdiri di depannya, menundukkan kepala. Waktu itu aku sedang di dapur minta dibuatkan kopi sama Mbok Sarini membuatku terlambat memenuhi panggilan. Dan aku tahu pasti, aku akan menerima sebuah konsekuen. Ketika hendak sampai di ruang di mana aku harus menuju, aku melihat bocah itu berjalan terhuyung menuju ke ruang yang sama. Aku menahan langkahku.

“Nggak pecus. Anak kecil itu bisa saja melaporkan pembunuhan orang tuanya. Kerja kalian itu gimana? Nangkap anak kecil kok nggak bisa. Mulai hari ini, bocah itu akan tinggal di sini. Aku nggak mau tahu gimana caranya, kalian harus melanjutkan pekerjaan kalian. Terserah mau pakai racun tikus atau apalah.”

“Pak Cik, aku akan melaporkanmu.” Bocah itu berteriak marah, kemudian cepat-cepat berlari meninggalkan rumah jebakan untuknya. Rasa lapar yang melilit perut membuat larinya tak secepat singa. Aku mengejar langkahnya, dan menggendongnya mencari tempat persembunyian.

“Kejar dia.” Perintah Pak Cik Gun. “Mana Bejo?” Pak Cik Gun berteriak lagi dengan muka merah menyala. Ia baru menyadari ketiadaanku, membuatnya semakin tersulut emosi.

Keempat kawanku berlari mengejar si bocah yang kini tak sadarkan diri di punggungku, itu berarti mereka mengejarku juga. Sebelum menemukan tempat untuk sembunyi, mereka sempat melihatku menjadi malaikat penolong bagi mangsa mereka. dan mangsa mereka kini bertambah satu lagi. Dan daftar pencabutan nyawa yang akan dilaporkan pada utusannya pun bertambah satu nama lagi, namaku. Tapi meski saat ini aku bersembunyi, bukannya aku takut atau tak punya nyali. Ini hanya strategi. Aku tak pernah takut, karena mereka bukan Izrail sang pencabut nyawa.

Ngaliyan, 28 November 2011

Just 4 dek yayas tersayyang, hoho…

REPUBLIK PINK

Republik pink,

Bukan mengenai negeri ini feminin

Bukan karena negeri ini berkelamin

Hanya ada warna-warna yang pudar di sana

Di lukisan bocah-bocah kecil

Atau… tercampur baur?

Luntur, terkena hujan semalam

Ah, bukan salah bocah-bocah itu

Yang masih sulit membedakan warna

Bukan juga salah hujan,

Karena nantinya kau akan menyalahkan Tuhan

Republik pink, siapa yang berimu warna?

Dulu garuda berikan merah darahnya

Dulu garuda persembahkan putih tulangnya

Apa garuda tak lagi setia karena mulai renta?

Mengapa malah mengambinghitamkan garuda

Ah, selalu menyalahkan

Republik pink, yang tak berani mengakui

Mungkin aku yang berimu warna,

Republik pink.

Sabtu, 14 Januari 2012

new year

Lembaran baru, di awal tahun. Hari yang selalu berganti, sebuah proses menuju pertambahan usia, dan juga harus ada kedewasaan yang bertambah dalam menghadapi dan menjalani hidup. Sebuah kesadaran bahwa hidup masih panjang, tak berakhir di tahun kemarin. Masih akan ada banyak tahun di hari yang kan datang.

Hujan masih setia menemani, bahkan setiap hari lebih kerap dari bulan lalu. Januari, hujan sehari-hari tapi tak seharusnya mata ikut menitikkan butiran bening. Memang, kabut selalu menyelimuti senja tapi tak selayaknya hati menjadi gulita. Harus ada usaha untuk hadirkan mentari dengan sisa cahayanya yang akan direnggut oleh malam.

Masih banyak angan yang belum tergapai di tahun kemarin. Bukan saatnya meninggalkan mimpi-mimpi itu, tapi tetap biarlah mata terjaga untuk melukiskan mimpi itu dalam nyata. Tetap bersimpuh, memegang erat tangan kuasa Tuhan yang bisa mengubah hal yang mustahil menjadi mungkin. Tapi ketahuilah bahwa Tuhan tak suka dengan orang yang hanya sibuk bersujud dan menangis tanpa menjalankan kuas di atas kanvas hidupnya, melukiskan mimpi. Kuas tak akan bisa berjalan sendiri tanpa kau gerakkan. Kanvas akan tetap kosong tak bergambar. Tak bernilai, tak layak jual. Tuhan tak pernah memaksa manusia untuk melukis apa. Manusia diberi kebebasan, bahkan memilih warna sekalipun.

Pergantian tahun bukan berarti mengganti diri menjadi orang lain, tapi perbaikan diri. Belajar dari sejarah diri sendiri yang tak pernah diprasastikan, namun setiap orang pasti tak kan mudah melupakan hal-hal yang terjadi pada dirinya. Ada cermin di sana, untuk menengok wajah kita di masa lalu. Untuk tampil elok, apakah riasan wajah kita masih ada yang perlu dipoles lagi? Bukan wajah dalam arti nyata yang saya bicarakan di sini. Kecantikan wajah secara fisik bisa dibeli dengan uang. Tapi lihatlah wajah yang sesungguhnya pada diri kita. Tak ada salon mana pun yang mampu melakukan permak pada wajah kita. hanya diri kita yang bisa menambal kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang telah lalu dengan kebaikan.

Semangat tahun baru…..

Minggu, 08 Januari 2012

prinsip spesialisasi

Organisasi dalam definisinya merupakan proses kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Seperti yang kita rasakan, manusia tidak bisa terlepas dari yang namanya organisasi karena semenjak dilahirkan, manusia telah ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, manusia tidak bisa berjalan sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dibutuhkan untuk terjun, berbaur dan bergabung dengan orang lain agar bisa membantunya memperoleh apa yang dituju.

Setiap individu yang memutuskan untuk berbaur dalam sebuah organisasi pastilah membawa kebudayaan, kebiasaan, serta keahliannya di bidang masing-masing yang berbeda, yang memiliki pengaruh besar terhadap organisasi. Maka dari itu, untuk keefektifan dalam organisasi ini, perbedaan-perbedaan yang dibawa dan dimiliki masing-masing individu harus bisa diatur supaya tidak ada bentrokan dari perbedaan tersebut. Justru, dengan adanya perbedaan tersebut mendatangkan keuntungan tersendiri bagi organisasi. Bisa kita bayangkan jika dalam sebuah organisasi, anggotanya memiliki kemampuan yang homogen misalnya dibidang keuangan semua, tidak ada yang bisa menangani masalah kesekretariatan, atau tak ada yang mampu menjadi pemimpin yang bisa mempengaruhi anggotanya untuk melakukan tugas mereka, dll. Sebaliknya, ke-heterogen-an justru sangat dibutuhkan. Berdasarkan kemampuan dan keahlian yang berbeda akan membuat organisasi ini terisi saling melengkapi satu sama lain. Setiap orang akan mengerjakan tugas sesuai dengan keahlian mereka, membuat organisasi lebih efektif karena tidak ada kerancuan dan lempar tanggung jawab atas suatu tugas atau pun pekerjaan. Dan lagi, ketika suatu pekerjaan itu dikerjakan oleh ahlinya maka akan membuahkan hasil yang lebih memuaskan dari pada pekerjaan itu dilakukan olah orang yang tidak memiliki keahlian di bidang tersebut.

Dalam teori organisasi, pembagian job berdasarkan kemampuan dan keahlian seseorang inilah yang disebut dengan spesialisasi. Spesialisasi merupakan salah satu prinsip penting dalam organisasi, di samping prinsip-prinsip yang lain, seperti principles of objective, principles of authority, principles of coordination, principles of responsibility, principles of definition, principles of correspondence, span of control, principles of balance, dan principles of continuity.

Dalam faktanya, di organisasi-organisasi yang ada di sekitar kita, apakah prinsip-prinsip tersebut telah dilaksanakan dengan baik? Karena dalam makalah ini penulis hanya mengkhususkan pada prinsip spesialisasi, maka kita akan menengok permasalahan dalam organisasi dalam pelaksanaan prinsip spesialisasinya saja. Apakah dalam organisasi ini telah diterapkan adanya pembagian tugas dan pekerjaan sesuai dengan keahlian anggota organisasi, sepertinya banyak fakta menjawab bahwa prinsip tersebut masih belum terlaksana dengan sebaik mungkin. Buktinya, di sebuah organisasi yang berlangsung di perusahaan-perusahaan, masih banyak penyelewengan dalam perekrutan pegawai. Masih banyak terjadi nepotisme, merekrut orang-orang yang masih memiliki hubungan interpersonal dengan orang ‘dalam’. Masih banyak terjadi suap-menyuap agar seseorang bisa menempati jabatan atau kedudukan yang ia inginkan, melalui ‘jalan belakang’. Padahal, mereka ini tidak seharusnya diposisikan pada divisi atau jabatan tersebut, karena bagian itu sama sekali bukanlah bidang yang dikuasainya.

jika hal ini masih saja terus terjadi, mungkin saja menjadikan kinerja sebuah organisasi kurang efektif dan akhirnya akan menunda tercapainya tujuan dalam organisasi, bahkan bisa membuat organisasi ini collapse. maka dari itu, sangat perlu memahami apa itu prinsip spesialisasi dalam organisasi dan supaya setiap organisasi bisa mengintrospeksi diri dan tegas terhadap pelaksanaan prinsip ini.

a. Definisi Spesialisasi

Spesialisasi merupakan salah satu prinsip yang menjadi tiang penyangga bagi organisasi, yang bisa berpengaruh bagi efektif dan tidaknya sebuah kinerja dalam organisasi karena dalam prinsip ini menyangkut hal pekerjaan dan tugas masing-masing anggota.

Di dalam buku Perilaku Organisasi (Robins & Timothy: 2008) diceritakan bahwa pada awal abad ke-20, Henry Ford mengalami kesuksesan luar biasa dengan membuat mobil di sebuah lini perakitan. Setiap pekerjanya mengerjakan satu pekerjaan yang spesifik dan berulang-ulang, misalnya seseorang hanya memasang roda, yang lainnya hanya memasang pintu. Ford memperlihatkan bahwa suatu pekerjaan dapat dikerjakan secara lebih efektif jika karyawan dibiarkan untuk mengkhususkan diri. Saat ini kita menggunakan istilah spesialisasi pekerjaan (work specialization) atau pembagian tenaga kerja (division of labor) untuk menggambarkan sejauh mana berbagai kegiatan dalam organisasi dibagi-bagi menjadi beberapa pekerjaan tersendiri. Hakikat dari spesialisasi pekerjaan adalah bahwa ketimbang seluruh pekerjaan dilakukan oleh seorang individu, pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah tahap, dengan masing-masing tahap diselesaikan oleh seorang individu tersendiri.

Anne Ahira mengatakan bahwa prinsip spesialisasi adalah pembagian tugas yang jelas. Agar tujuan yang ingin dicapai kelompok terlaksana maka setiap anggota harus melakukan aktifitas dengan porsi masing-masing. Adanya kejelasan dalam pembagian tugas akan memperjelas wewenang dan pertanggungjawaban juga keefektifan jalannya sebuah organisasi (http://www.anneahira.com/prinsip-organisasi.htm).

Dalam sebuah artikel di management studi guide dikatakan bahwa proses sebuah organisasi bisa berlangsung dengan baik jika seorang manajer atau pemimpinnya memiliki pedoman tertentu yang bisa membantunya untuk mengambil sikap dan keputusan. Dan disebutkan pula sepuluh prinsip organisasi yang bisa dijadikan alat bantu bagi seorang manajer ketika harus menyupiri sebuah organisasi, yang salah satunya adalah prinsip spesialisasi. Menurut prinsip ini, seluruh pekerjaan harus dibagi berdasarkan atas kualifikasi, keterampilan dan kemampuan (http://www.managementstudyguide.com). Dalam buku Strategic Manajement, setiap divisi pada akhirnya akan termasuk fungsi spesifik yang mana secara khusus akan diorganisir ke dalam departemen. Ditambahkan lagi sebagai contoh, bahwa seorang yang mahir dalam pertanian seharusnya melakukan pekerjaan petani saja, tidak yang lain (Dess, Lumpkin, Eisner: 2007). Hal ini juga dikatakan oleh Plato, Seorang pria yang cocok baginya alam pertanian harus pertanian dan tidak melakukan apa-apa lagi; seorang pria yang paling sesuai untuk membuat benda-bendar dari kayu harus menjadi tukang kayu dan tidak terganggu dengan setiap jenis pekerjaan lain. Plato percaya bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa setiap pekerjaan dilakukan sebaik mungkin (http://www.sparknotes.com/philosophy/republic/section1.rhtml).

Dari definisi-definisi di atas, inti dari prinsip spesialisasi adalah pembagian tugas berdasarkan skill yang dimiliki oleh individu dalam organisasi, agar tidak ada istilahnya pemborongan tugas oleh seseorang sehingga yang lain tidak melakukan hal apa pun. Bukankah organisasi adalah sebuah proses kerja sama? Jadi untuk kerja sama, semua orang harus melakukan sesuatu demi tercapainya tujuan. Agar tidak terjadi kerancuan dalam melakukan tugas, maka pembagian tugas secara jelas sangat diperlukan. Bayangkan saja jika pembagian tersebut tidak jelas, pasti akan terjadi saling lempar tanggung jawab antar anggota untuk melakukan tugas tersebut. Akan tetapi, meskipun keuntungan nyata dari prinsip ini, masih banyak organisasi yang menjauh dari spesialisasi karena menurutnya, dengan banyaknya spesialisasi ini akan mengisolasi karyawan, dengan melakukan tugas yang sempit, kecil, membosankan, dan hanya itu-itu saja. Organisasi-organisasi tersebut lebih memilih memperbesar pekerjaan untuk memberikan tantangan kepada para anggota (http://www.cliffsnotes.com/).

b. Spesialisasi dan Birokrasi

Penelitian untuk mendapatkan efektifitas dan efisien yang lebih besar dalam organisasi, memunculkan teori klasik administrasi atau lebih tepatnya manajemen ilmiah. Teori administrasi klasik, yang disajikan dalam karya Gulick iklan Urwick, membuat pembagian kerja ajaran sentral. Pendekatan Klasik didasarkan pada asumsi kuat bahwa semakin suatu pekerjaan tertentu dapat dipecah menjadi bagian-bagian komponen yang paling sederhana, semakin khusus, akibatnya pekerja lebih terampil dalam melaksanakan bagiann pekerjaannya. Pembagian kerja harus seimbang dengan kesatuan kontrol. Tugas-tugas harus dipecah menjadi komponen oleh penguasa pusat sejalan dengan rencana pusat aksi, upaya masing-masing unit kerja perlu diawasi, dan upaya berbagai pekerjaan yang mengarah ke produk akhir harus dikoordinasikan. Hal ini menyebabkan piramida kontrol yang mengarah ke salah satu eksekutif puncak. Dengan cara ini, seluruh organisasi dapat dikendalikan dari satu pusat kekuasaan.
Ada empat prinsip dasar
dalam spesialisasi, yaitu (Amitai: 1964):

1. Prinsip pertama menyatakan bahwa spesialisasi harus dengan tujuan tugas. Pekerja yang melayani tujuan yang sama dan sub-tujuan dalam organisasi harus terpasang ke divisi organisasi yang sama. Tidak akan seperti yang banyak divisi dalam organisasi karena ada tujuan atau sub tujuan.

2. Prinsip kedua spesialisasi menunjukkan bahwa semua pekerjaan didasarkan pada proses tertentu harus dikelompokkan bersama-sama, karena harus berbagi dana khusus pengetahuan dan membutuhkan penggunaan keterampilan yang sama atau prosedur.

3. Prinsip ketiga menyatakan bahwa spesialisasi sesuai dengan jenis klien lain bagi pembagiankerja.s

4. Prinsip keempat mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan di wilayah geografis yang sama harus ditempatkan bersama-sama.

Dalam teori organisasi, khususnya teori klasik disebut juga dengan teori spesialisasi, teori formalism, dan teori struktur yang muncul untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi. Dalam teori klasik ini ditemukan ada tipe organisasi birokrasi yang di bawa oleh Max Weber yang mana dalam birokrasi idealnya memiliki beberapa fungsi yang salah satunya adalah fungsi spesialisasi. Birokrasi modern milik Weber ini mempunyai karakteristik, diantaranya adanya pembidangan tugas yang jelas yang umumnya diatur oleh hukum atau peraturan-peraturan administrasi, yaitu: pembagian tugas yang jelas, pendelegasian wewenang, dan setiap tugas yang dilaksanakan menuntut keahlian/keterampilan (spesialisasi).

Mungkin, istilah birokrasi menimbulkan asosiasi pikiran tentang gambar pemerintah sebuah organisasi raksasa yang tidak efisien dan penuh kekakuan. Kebanyakan birokrasi memperlihatkan sejumlah peraturan kaku dan aneka macam regulasi. Max Weber mengembangkan model birokrasi dengan sebuah metode rasional untuk menstrukturisasi organisasi-organisasi kompleks. Model ini berupaya merumuskan sebuah sistem ideal, di mana posisi-posisi dirumuskan dengan baik, pembagian kerja jelas, sasaran dinyatakan secara eksplisit, dan terdapat garis otoritas yang jelas. Superioritas organisasi birokrasi terletak pada tindakan merumuskan posisi, kemudian posisi-posisi tersebut diisi dengan para individu yang berkualitas (Winardi: 2005, 114).

Organizational characteristic

Bureaucratic expectation

Professional expectation

Standardization

Stress on uniformity, records, and files, and rules stated specifics

Stress on uniqueness, research and changes, and rules as alternatives

Specialization

Stress on efficiency of techniques task oriented

Stress on achievement of goals client oriented

Authority

Decision concerning application of rules to routine problems

Decisions concerning policy in professional matter and unique problem

Responsibility for decision making

Rules sanctioned by the public

Rules sanctioned by legally sanctioned profession

Basis of authority

Loyalty to organization and to superiors Authority from office (position)

Loyalty to professional associations and clients Auth. From personal competence

Tabel di atas menghubungkan antara karakteristik organisasi dengan birokrasi dan profesional ekspektasi. Untuk prinsip spesialisasi sendiri, dalam birokrasi ia menekankan pada orientasi tehnik tugas, sementara dalam profesionalnya menekankan pada orientasi meraih tujuan(Sergiovanny & Carfer: 1973)

Melihat fenomena yang terjadi dalam organisasi-organisasi di sekeliling kita, ternyata prinsip spesialisasi belum sepenuhnya terlaksana, baik itu di organisasi sekolah, lembaga pemerintahan, maupun perusahaan-perusahaan. Lihat saja masih banyak terjadi pelaksanaan tugas yang semrawut karena ketidakjelasan pembagian tugas. Seseorang harus merangkap-rangkap tugasnya, misalkan seorang yang bekerja di perusahaan fashion harus menghasilkan sebuah baju dari awal proses pembuatan pola, memotong, sampai menjahit dikerjakan sendiri. Hal ini menjadikan pekerjaan itu lebih lama di bandingkan jika ada pembagian setiap tahapnya dilakukan oleh orang yang berbeda. Contoh yang lain misalnya di sekolah-sekolah yang masih kekurangan guru atau pegawai, akan sangat mungkin mereka tidak hanya mengajar mata pelajaran pada bidang yang ia kuasai, namun juga harus mengisi posisi kosong yang padahal sama sekali bukan bidangnya. Atau seorang guru yang harus merangkap jabatan sebagai petugas perpustakaan.

Menurut saya, masalah ini adalah masalah yang kompleks, yang hingga sekarang masih menjamur dan belum terselesaikan. Sebenarnya, apa yang menyebabkan masalah ini masih berlanjut? Apakah ini disebabkan kurangnya sumber daya manusia di organisasi tersebut ataukah kurangnya kemampuan seorang manajer dalam mengelola organisasinya? Atau mungkin keduanya?

a. Kurangnya SDM

Meskipun dalam kuantitasnya, manusia di Indonesia ini sangat banyak yang kemungkinan bisa melaksanakan tugas-tugas dalam sebuah organisasi, namun dalam segi kualitas mungkin masih dipertanyakan. Sehingga, akhirnya mereka yang masih banyak jadi pengangguran pun tidak bisa mengisi posisi-posisi yang kosong dalam organisasi karena minimnya kemampuan mereka. Dan ini mengakibatkan adanya tugas-tugas dobel yang harus dilakukan oleh seseorang di organisasi.

Untuk menghadapi hal ini, bukan hanya kewajiban dari pemerintah untuk menyediakan fasilitas, dari segi sarana prasarana maupun wahana pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia namun juga kewajiban perindividu juga. Setiap orang harus memiliki kesadaran dan kemauan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitasnya.

b. Kapabilitas manajer atau pemimpin

Dalam sebuah organisasi, ketidakefektifan yang disebabkan kurangnya spesialisasi tugas bisa jadi dikarenakan seorang manajer atau pemimpin yang kurang begitu paham akan pentingnya prinsip ini. Jadi, sudah seharusnya seorang pemimpin harus paham betul teori-teori organisasi termasuk di dalamnya prinsip-prinsipnya. Ketika seorang pemimpin telah memahaminya, pasti kerancuan dalam pelaksanaan tugas bisa terminimalisir sedemikian rupa. Dan lagi, ketika sebuah organisasi atau perusahaan yang ia pimpin memang membutuhkan orang-orang dari luar untuk mengisi posisi yang kosong, ketika ia melakukan perekrutan tidak akan terjadi nepotisme. Karena dia tahu, untuk mengisi lowongan yang ada memang benar-benar dibutuhkan orang yang memiliki keahlian atau kemampuan yang sesuai.

Pelaksanaan prinsip spesialisasi ini memiliki dampak yang begitu signifikan dalam proses kinerja organisasi. Fakta mengatakan, hingga akhir 1940an, sebagian pekerjaan manufaktur di negara-negara industri dilakukan dengan spesialisasi kerja yang tinggi. Manajemen melihat hal ini sebagai sarana yang paling efisien untuk memanfaatkan keterampilan karyawannya. Para manajer juga melihat efisiensi lain, yaitu keterampilan karyawan dalam menjalankan tugas dengan berhasil meningkat berkat pengulangan (Robins & Timothy: 2008). Dan juga, bukan hanya keterampilannya saja yang meningkat, tapi ketepatan dan kecepatan waktu dalam menjalankan tugas pun bisa meningkat ketika pekerjaan tersebut diulang-ulang. Dan hal ini, menjadikan karyawan tersebut semakin ahli dalam bidang itu, sehingga mutu yang diperoleh dari hasil kinerja ini juga baik. Sebaliknya, pengabaian terhadap prinsip spesialisasi ini akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas, seperti yang telah penulis singgung di atas. Dan juga, kemungkinan untuk menghasilkan kualitas atau hasil yang baik pun kecil ketika pekerjaan tersebut tidak dilakukan oleh ahlinya.