Minggu, 01 Februari 2015

Hujan Senja

Hujan seharian tak lantas menghentikan aktifitas bukan? Banyak orang bilang, hujan itu melankolis, sendu, dan paling nyaman untuk merebahkan diri di kasur, tidur.
Ketika kamu menyelami hujan, dia itu teman terbaik untuk berkarya. Entah bagaimana rumusnya, hujan bisa mengantarkan seseorang untuk menciptakan karya-karya terbaik. Hujan tepat untuk merenung. Eits, bukan melamun lho. Bedakan antara melamun dan merenung. Melamun lebih cenderung menghabiskan waktu tanpa menghasilkan apapun. Tapi merenung, ada proses berpikir, mencerna, menganalisa. Hasilnya, bisa jadi gagal, berhasil menelurkan sesuatu, bahkan bisa jadi karya itu sungguh luar biasa meskioun yang direnungkan adalah hal kecil.
Hujan itu ciptaanNya, ada proses alam yang bisa direnungkan. Bahkan itu sudah diperintahkan dalam firmanNya, sebagai bentuk eksistensi Tuhan.
Jadi, tak perlu galau ketika hujan datang. Lakukan aktifitas terbaik pads momen ini, jangan buang waktumu ya..

Selasa, 29 Oktober 2013

Kembali ke Kotamu



Entah berapa gelas minuman yang habis kita tenggak di angkringan ini setiap akhir pekan. Dua gelas minuman yang selalu mengantarkan aku dan kau ke perbincangan yang kadang mengundang gelak tawa, tapi kadang juga menyisakan haru. Pesanan yang selalu sama hingga pemilik angkringan ini pun tengah menyuguhkannya tanpa tanya, segelas jeruk hangat untuk menjaga kualitas suaraku dan segelas susu pakai es untukmu. Kau tak suka minuman panas, katamu saat pertama kali kita bertandang kesini. Aku yang pertama kali mengajakmu ke tempat makan lesehan seperti ini untuk membunuh sepinya malam. Duduk di atas hamparan tikar, di bawah lampu jalan yang tak benderang. Alunan lagu dari petikan gitar para pengamen jalanan yang kadang berperang dengan suara deru kendaraan yang melintas. Tapi ini yang kusuka dari tempat ini. Sesekali aku meminta mereka untuk mengiringi nyanyianku, untukmu. Dan angin bisa dengan leluasa menyibak rambutku. Saat itu kamu bertanya kenapa harus ke tempat seperti ini, tidak ke kafe tempatku menjual suara saja. Aku hanya tertawa mendengar pertanyaanmu, tapi toh selanjutnya ganti kamu yang keranjingan untuk mengunjungi tempat ini.
Aku kembali ke kotamu. Angkringan inilah yang pertama kali kukunjungi. Pemiliknya sudah beruban kini, tapi sudah pasti dia telah melupakanku seperti kamu menghapus sketsa wajahku. Buktinya dia menghampiriku, bertanya aku ingin minum apa. “Segelas jeruk hangat dan segelas susu pakai es.” Ia mengerutkan dahinya agak heran, tapi aku enggan untuk mengingatkan siapa aku. Sembari menunggu pesanan, mataku menyapu semua gedung-gedung yang nampak dari sini. Aku masih mengingatmu, juga kotamu. Walaupun sudah banyak hal yang berubah di sini.
Aku baru saja kembali dari Netherland, negeri impian bagiku yang selalu kuceritakan padamu di sini. Mungkin gerobak angkringan itu juga mendengar bagaimana ekspresi gilaku ketika aku mengatakan aku sedang ngidam untuk berpose memakai toga di depan Leiden University, kampus tertua di Belanda. Kamu pun heran padahal aku tak hamil. Perempuan tak perlu menunggu hamil untuk merasa ngidam, belaku. Dan kemudian, kamu menggenggam erat tanganku dan berjanji akan mengajakku ke tempat itu suatu saat. Kata-katamu menjadi pelukan hangat bagiku, entah tiba-tiba aku merasa nyaman.
Pemilik angkringan mengantar pesananku. Sejenak dua orang pemuda mendekat, menyanyikan sebuah lagu pop Indonesia yang tak pernah kudengar sebelumnya. Ah, terlalu lamakah aku meninggalkan kota ini, batinku tersenyum kecut. Aku menikmati suara pengamen yang agak serak itu sambil mengaduk-aduk gelas di depanku. Ada bayanganmu di minumanku, hingga seakan mewujud di hadapanku. Menyeretku kembali ke masa lalu, ketika aku tetap ingin di angkringan sini sampai pagi. Bahkan aku menolak ketika kamu mengajakku pulang. Kamu mengingatkan, tak baik perempuan keluar hingga larut. Ternyata kamu masih berpegang pada adatmu walau akhirnya kamu mengatakan bahwa kamu membencinya. Semalaman kita terjaga, mengalir bersama cerita-cerita yang kita tuangkan.
“Aku benci kotaku ini. Panas.” Katamu.
“Memang sih, Semarang terkenal panas. Tapi Semarang indah buatku. Di sini aku bisa bertemu denganmu. Aku mencintai kota ini, seperti aku mencintaimu.” Sejenak wajahmu memerah mendengar ucapanku. Sudah lama kita tidak menyebutkan kata cinta dalam kebersamaan kita. Semuanya berjalan begitu saja, baik-baik saja. Dan ketika aku menyebutnya, seakan kita diingatkan kembali pada sesuatu yang kita lupa. Oh bukan, sesuatu yang memang sengaja kita lupakan. Kita sama-sama terdiam. Dan cerita berujung di situ ketika fajar menyingsing. Kamu pun antarkan aku pulang, dengan membawa setangkup haru. Perjalanan yang terasa panjang karena kita hanya bertanya lewat isyarat sepi. Cinta apa yang kita miliki dalam hubungan ini?
Suara nyanyian musisi jalanan itu berhenti, mengembalikanku dari lorong waktu masa lalu yang kuciptakan. Mereka pun pergi meninggalkanku setelah selembar uang kuberikan, namun bayanganmu tak ikut serta pergi. Aku sengaja mengimajinasikan wujudmu untuk menemani kunjunganku ke kotamu. Mungkin saat ini kamu tengah sibuk melahirkan karya-karya di depan laptopmu, ditemani es susu yang disuguhkan istrimu. Atau mungkin kamu telah meringkus di pembaringan, terlelap dalam peluk hangat istrimu setelah ia menidurkan buah cinta kalian. Benarkah kamu mencintai dia? Kita memang tak pernah saling mengatakan cinta kecuali malam itu. Bahkan setelah itu pun kamu memintaku berjanji untuk tidak menyebutkan kata itu lagi. Kamu benar-benar menghapus kata itu dalam kamus hubungan kita. Aku sempat bertanya mengapa, atau apakah kamu terlalu takut akan hubungan ini atau kamu tak berani untuk melangkah lebih jauh bersamaku. Tapi berkali-kali kamu meyakinkanku. “Hubungan ini akan sampai di penghujung usia kita, yakinlah.” Katamu. Akhirnya aku setuju.
Ah, seandainya aku yang menemanimu malam ini. Bersamamu ketika kamu membaca, ketika kamu menulis, menyuguhkan minuman kesukaanmu, memijit pundakmu ketika kamu merasa lelah, dan membawakan mantel ketika dingin malam mulai menggerayangi tubuhmu. Walau Semarang panas, tapi aku tahu kini kamu telah bertambah usia agaknya tak sekuat dulu menantang angin malam. Di mana kamu malam ini? di sebelah sudut mana dari kota ini kau berada? Malam ini aku menenggak pahit ini bersama tegukan terakhir dari minumanku. Kubiarkan utuh es susu di gelasmu yang mulai mencair. Aku pergi.
Aku kembali ke kotamu senja ini, berharap menemukan kembali senyummu setelah mendengar kabar aku pulang dari negeri impianku. Tempat kedua dari kotamu yang kukunjungi adalah kawasan kota lama. Dulu aku tak pernah tahu daerah ini. Di salah satu hari yang pernah kita lewati, tepat satu tahun hubungan kita berjalan kau mengajakku ke tempat ini. “This is the little Netherland, welcome to your dream land.” Katamu penuh bangga, tampaknya kamu mulai menyukai kotamu sepertiku. Tanpa kuminta, kau bercerita perihal sejarah kota lama yang begitu eksotis bagiku. Semakin memukau ketika cahaya senja memantul, memberikan efek ketuaannya. Benar saja aku merasa berada di Netherland. Bangunan-bangunan kunonya yang bergaya ala Eropa menjadi saksi bisu sejarah masa lalu pada masa koloni Belanda, juga menjadi saksi bisu kisah dua sejoli yang dimabuk asmara beberapa tahun silam. Kota lama pun tetap saja membisu ketika kini aku kembali, berdiri di antara gedung-gedung itu.
Entah sudah berapa lama aku tak bertandang ke sini. Banyak yang berubah. Aku diantar oleh seorang tukang becak untuk menyusuri daerah ini, tak seperti dulu ketika aku membonceng motor bututmu yang sempat mogok dan kita mendorongnya berdua tanpa merasa lelah. Little Netherlandku tampak kumuh, lusuh. Kata si abang becak, daerah ini rawan banjir setiap hujan mengguyur kota Semarang. Bangunan yang masih berdiri tampak tak kokoh lagi. Seakan mereka merintih akan kesepuhan usianya. Menjerit karena ulah tangan manusia yang tak lagi peduli padanya. Bahkan pemerintah pun mengabaikannya. Hatiku sendu melihat kota lamaku tak terurus begini. Apakah kau tak tepati janjimu dulu untuk menjaganya ketika aku pergi. Mungkin kau ingin, tapi kau tak mampu untuk melakukannya sendiri. Atau, mungkin kau telah melupakan janjimu setelah kau bersama dengan dia. Kau sudah melupakan cintamu padaku. Huft, dadaku sesak. Aku menyembunyikan tangisku dari si abang becak.
Ayunan becak berhenti di depan gereja Blenduk yang kini berusia lebih dari dua ratus tahun. Aku pun turun. Menyibak kembali kenangan yang pernah terpotret di sini, walau dalam ingatan. Gereja inilah bangunan yang paling aku suka di antara deretan bangunan yang ada. Masih teringat ceritamu mengapa gereja ini disebut gereja Blenduk, nama yang aneh bagiku. Pantas saja, karena kata Blenduk dalam bahasa Jawa berarti Kubah. Dipucuk atas gereja ini memang terdapat sebuah kubah besar. Saat itu aku berjingkrakan bisa sampai sini bersamamu. Kegilaanku akan Netherland sedikit terobati. Di taman yang berada di samping gereja, kita mengukir mimpi masa depan. Pernikahan, anak, sampai punya cucu dan rambut kita memutih. Aku mengubur mimpiku untuk menikah di gereja ini, karena kau pasti tak akan setuju. Tapi aku tetap memintamu untuk nanti berpose di sini, ketika kita mengenakan baju pengantin. Kau mengangguk mengiyakan inginku, kemudian membenamkan kepalaku di dadamu.
Mataku nanar melihat bangunan tua ini. Air mataku menggantikan hujan membanjiri little Netherlandku. Otak ini memutar kembali memori yang menjadi akhir cerita cinta kita. Saat itu entah yang keberapa kita menghabiskan senja di gereja ini, yang kuingat itu yang terakhir kali sebelum kuputuskan terbang ke Netherland menerima beasiswa di sana.
“Cinta kita harus sampai di sini.” Katamu lirih. Awalnya aku tak percaya dengan kata-katamu. Biasanya kamu suka membuat lelucon-lelucon yang bisa membuatku jengkel.
“Ahhhaa, kamu bercanda kan? Aku sudah kebal dengan leluconmu tau.” Aku berusaha membuatmu tertawa, bahkan sampai menggelitiki tubuhmu. Tawamu tak terlepas juga. Malah matamu berkaca. Dan seketika aku menyadari kalau kau berkata jujur. Tubuhku lemas. Impian-impian yang kubangun untuk jalani hidup bersamamu runtuh saat itu juga. Aku menangis sesenggukan, disaksikan kota lama.
“Kecuali kamu pindah agamaku. Itu yang diinginkan orang tuaku.”
“Baiklah, aku akan meninggalkan agamaku.” Kataku spontan. Aku menggenggam erat tanganmu, meyakinkanmu.
“Tidak, aku tak ingin memaksamu.”
“Aku nggak merasa terpaksa.”
“Bukan, itu hanya emosi sesaatmu. Aku takut kamu akan menyesal suatu saat nanti.”
Aku kembali ke kotamu, masih berharap ada cintamu untukku. Aku telah melewati waktu yang lama tanpamu, masih menjaga cintamu sampai saat ini. Aku tersedu untuk kedua kali di kota ini, mendengar dialog kita di masa lalu kembali terngiang. Terserah apa kata orang ketika melihat seorang perempuan duduk sendiri, menangis pilu. Aku tak peduli lagi.
Senja hampir usai, tergantikan oleh malam. Kota lama akan kehilangan ke-eksotisan-nya disembunyikan gelap, hanya kengerian bangunan tua yang akan disisakannya. Sebaiknya aku pulang. Aku berjalan mendekati taksi yang letaknya agak jauh dari gereja ini. Dengan langkah gontai, menutup pelan pintu kenangan.
                                                            12:28 AM
                                                            Ngaliyan, 14 February 2012
Terinspirasi dari lagu berjudul Yogyakarta

Sabtu, 20 April 2013

MOVE ON

Bicara tentang MOVE ON. Yea, sering kali seseorang dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya melupakan masa lalu dan memulai lembaran baru. Tidak semudah seperti ketika membuka halaman pada buku ternyata. Melupakan seseorang tidak semudah seperti ketika jatuh cinta. Mengapa? Jatuh cinta tidak butuh sebuah usaha tapi untuk melupakan membutuhkan usaha yang cukup berat. Semakin berusaha, justru bayangan seseorang itu nggak mau pergi dari hati.
Seorang teman pernah bilang, untuk MOVE ON butuh orang lain yang lebih baik darinya. Tapi kudu diinget juga lho. Terkadang MOVE ON nggak selalu menuntaskan masalah, justru bisa membuka masalah yang baru.
Seseorang yang hadir tiba-tiba di saat seperti ini, kadang bisa menjadi orang yang tepat untuk menggantikan posisinya. Kehadirannya ini membuat hidupmu seakan kembali, dengan perhatiannya, kedewasaannya, dan semua perlakuan yang membuatmu comfort berada di dekatnya. Sehingga, kamu tak lagi menghiraukan masa lalumu.
Tapi tunggu dulu, jangan terlalu lena dengan zona kenyamanan ini. Comfort zone sering membuat kita lengah lho. Dan nggak sadar kalo ternyata kita mulai ketergantungan sama dia. Ketergantungan ini bisa membuat kita lemah dan rapuh, merasa susah untuk jauh darinya. Seiring waktu, bisa jadi kita berharap lebih sama dia. Lebih ati-ati lagi sama harapan ini. Terlalu berharap tinggi, kalo jatuh nantinya malah sakit lho. Kemungkinan seseorang yang hadir ini hanya karena simpati atas apa yang kamu alami. Dia nggak punya harapan yang sama seperti yang kamu harapkan. Nah kan, malah bikin masalah. Sakit lagi dan harus move on lagi.
Memang, kita sering gagal mengalahkan sepi dan membiarkan siapa pun melihat dan memasuki kesepian itu dengan memberi kenangan. Hal ini sangat wajar. Boleh lah siapa pun masuk ke kehidupan kita dan membiarkan kita menyelami kehiduannya juga, asalkan jangan terlalu dalam menyelam. Nanti tenggelam.

Selasa, 12 Maret 2013

bimbang bikin GALAU

Berada pada kondisi bimbang dan ragu sangat tidak menyenangkan. Butuh waktu panjang untuk menimbang, berpikir kembali, dan merenung. Dihadapkan dua pilihan yang sama-sama sempurna atau dua pilihan yang sama-sama tidak memberi kepastian, sangatlah dilema. Semua orang pasti akan melewati masa-masa seperti ini, yang pastinya bikin GALAAAUUU. Ada beberapa tips untuk mengatasi keadaan ini nih. Simak yuk, cekidot...
1. minta petunjuk Allah, berdoa dengan sepenuh hati setelah solat istikharah
2. curhat sama orang lain yang kira-kira bisa memberi saran dan masukan, pastinya yang mengerti benar tentang keadaan kamu
3. jujur pada diri sendiri. karena sebenarnya hati nurani tahu langkah mana yang harus diambil.
4. yang terakhir, kudu yakin sama pilihan yang diambil dan mulai laksanakan dengan bismillah.

Memang, tips ini bukan berdasarkan referensi dari buku-buku yang ditulis sama profesor. Tapi ga ada salahnya buat dicoba kog. selamat mencoba, don't be galau ya. karena semua pasti ada solusinya.

Minggu, 13 Januari 2013

coffee, always has many stories

Aku mencintai kopi bukan karena aku mencintaimu. Jauh sebelum aku mengenalmu, lebih dulu aku berteman dengannya ketika malam selalu mempertahankan dingin. Selalu ada rahasia menguap bersama kopi panas yang masih mengepul. Dan, suatu hal yang aneh dalam pemaknaan cinta bersama kopi. Selalu berubah seiring perubahan musim. Secara sederhana, sungguh beda saat aku menikmati kopi bersama kekasih pertamaku, kekasih kedua, ketiga, dan denganmu kekasih yang kuharap menjadi orang terakhir dalam perjalanan menikmati kopi. Mungkin bagimu lucu jika aku menyandingkan kecintaanku pada kopi dengan cinta terhadap lawan jenisku. Tapi, jika bisa merasakannya seperti ada perjalanan spiritual di setiap bibirku menyucup pucuk cangkir dan mulai meneguknya. Bahkan ini lebih indah dibandingkan ketika sepasang kekasih saling menyucup bibir satu sama lain seperti yang selalu ada dalam adegan drama, walaupun sebenarnya aku tak pernah sekalipun melakukan adegan itu bersama kekasihku yang dulu maupun yang sekarang, denganmu. Hal yang aneh lagi, terkadang para kekasihku melupakanku saat mereka di temani secangkir kopi. Begitu juga aku, dengan mudahnya aku berpikir tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun saat aku sendirian hanya ada secangkir kopi di hadapanku.
Kopi memiliki cerita sendiri, dan dia yang mempertemukanku dengan para kekasihku. suatu hari nanti akan kuceritakan bagaimana secangkir kopi bisa mengantarkan kisah dengan para kekasih.

Selasa, 01 Januari 2013

sajak



PAGI
1
Ah, kau masih saja meringkuk di balik selimut
Nafas tak beraturan. Berisik sekali dengkuranmu itu
Ini sudah pagi bung,  mentari kian meninggi
Pergilah sana mengejar matahari
Kau tahu? Ia tak akan hampirimu dengan inginnya sendiri
Tangkap sinar-sinar itu, menjaring dengan jala yang tak berlubang
Ada harap besar istrimu,
akan menyambut sepulang kau mengumpulkan setiap berkas cahaya
di tanganmu, ada senja yang kau genggam ketika petang
ia suguhkan secangkir kopi bersama camilan
rasa terima kasih, juga pembayar lelah
masih dalam harap istrimu,
kau letakkan senja yang kau genggam di lentera setiap ruangan
terangi gubuk kecilmu, deraikan tawa anak-anakmu
ah, ini menjelang siang bung
kau masih saja sembunyi dari cahaya yang menerobos di celah jendela kayu
petang nanti, tak ada senja yang mengisi lentera
tak ada riuh tawa anak-anakmu di gubuk gulita
padam juga harap istrimu, tak pernah kau nyalakan

2
Ayam di kandang sudah ramai seperti para penjual sayuran
Tidakkah kau harus ke pasar pagi ini?
Kuingatkan lagi, ini sudah pagi Ma
Mama masih saja menyimak gempita artis ibu kota
Pernikahan, perceraian, pernikahan lagi
Tak lekas beranjak pergi,
Acuh dengan riuh gemuruh di rumah yang kau huni
Suamimu memanggil, mencari baju kantor beserta dasi
Ternyata di bawah setumpuk baju yang sengaja tak sempat kau rapikan
Suamimu pun menyetrika sendiri
Anak pertamamu memanggil, meminta seragam sekolah beserta kaos kaki
bayimu merengek-rengek, minta diganti popok karena mengompol semalam
Ricuh, kisruh
Mama masih saja asyik masyuk dengan lagu-lagu pop anak muda
Lupakah kau yang tak lagi remaja?
Tahulah, kau seorang mama
Ini sudah menjelang siang, Ma
Suamimu pergi tak sarapan,
anak pertamamu juga ke sekolah tanpa bawa bekal
bayimu menangis kejang, kehausan

3
Apa semalaman kau begadang?
Menghitung angka, menghapal rumus matematika?
Berimajinasi, merangkai kata untuk tugas bahasa Indonesia?
Oh, ternyata tidak
Aku sempat mengintip dari daun pintu kamar yang sedikit terbuka
Tak satu buku kau baca, hanya dibiarkan di atas meja tersusun rapi
Bagaimana kau bisa membuka pintu dunia?
Justru kau sibuk berselancar di dunia maya
Membuka situs-situs berbau tuna susila
Ini sudah pagi, Nak!
Kau hanya menggeliat, tanpa membuka mata
Bangun, Nak!
Apa kau tak terusik huru-hara para demonstran?
Di sana-sini berteriak menolak kenaikan BBM
Apa telingamu tak mendengar koar-koar kebohongan
dari para calon pemimpin negerimu?
Ah, kau tetap saja tidur nyenyak
Negerimu kisruh, kasak-kusuk
Menangis tersedu, mendamba kesatria dari generasimu
Negerimu menjerit, terjerat
Tapi, kau terlelap rela kehilangan nyawa

Ngaliyan, 2012

MISKIN PETANI
Miris, ironis
Negeri agraris miskin petani
Sebuah lelucon mengharukan
Tetangga pun tertawa, menyantap dagelan kebijakan para dalang

Lucu memang,
negeri agraris petani menipis
Orang berbondong-bondong bermigrasi profesi
Petani, profesi tak bergengsi kata mereka
Berpakaian lusuh, berkawan kerbau,
bermandi keringat, renang di tanah lumpur
Miris, ironis
Rombongan mengantri ikut audisi,
Obsesi jadi artis, profesi yang terbayar mahal
Tubruk sana-sini mencalon jadi bupati,
Kalau tak begini tak bisa korupsi
Ada transaksi jual beli jabatan
Suatu saat balik modal

Sungguh Miris, ironis
Para dalang bangga atas tawa tetangga
Wayang-wayang seperti laron kebingungan
Mencari hidup mapan
Para dalang ikut tertawa,
Mereka yang telah jumawa di atas singgasana
Berkuasa di istana negara
Tak sadarkah mereka hidup dari wayang-wayang
Mendulang sepiring nasi masuk mulut, mengisi perut
Dari padi, dari tangan para petani
Sungguh miris, ironis
 Ngaliyan, 2012

happy new year

tahun telah berganti, selamat tinggal tahun lalu. berharap tahun ini lebih baik dan lebih berarti.
sampai di tahun ini aku bersyukur pada Tuhan, yang masih mengijinkanku numpang hidup di bumiNya yang indah ini. bersyukur karena adanya orang-orang yang ada di sekelilingku. entah bagaimana aku jika tanpa mereka. semoga Tuhan selalu melindungi dan melimpahkan sayang pada mereka.
tahun yang baru, banyak mimpi serta harapan baru. mimpi itu selalu indah, walau tak jarang aku merasa takut bermimpi. takut jatuh dan sakit setelah melambung tinggi, atau takut mimpiku gak kesampaian. tapi kau tahu, ada seseorang yang selalu membuatku berani bermimpi lagi setelah ketakutanku. iya, aku membicarakannya. si lelaki yang memiliki perahu kecil itu. milikmya bukan terbuat dari kertas kayak yang di judul film itu kog. perahunya terbuat dari kayu.
bukan pertama kali ini aku bercerita tentang dia kog, sering malah walaupun ceritaku tentangnya tak pernah tuntas. karena semua ini belum sampai pada ujung cerita. suatu hari nanti, aku kan bercerita tentangnya secara utuh padamu, jadi jangan khawatir ya.
 

Rabu, 19 Desember 2012

perjalanan kesebelasan MIA


Rasanya baru kemarin aku menulis tentang para awak kesebelasan MIA. Yah, walaupun ada lagi yang bergabung di rombongan kami,  mas Syafa'at El Bahry yang dengan kehebatannya mampu menjadi orang terdepan membawa perahunya untuk sampai ke dermaga terakhir. Kini, laju rombongan perahu kami hampir berada di ujung cerita. Jujur, baru di semester ketiga ini aku benar-benar menyatu dengan mereka, mengenal lebih dekat. Dan di saat yang bersamaan ternyata mengharuskan kita untuk memperjuangkan nasib kita masing-masing, bergegas menuju tepi mengantisipasi habisnya amunisi.
Sebelum perjuangan individu itu, ternyata kami harus diuji bagaimana menghadapi badai bersama. Pengadaan acara international discussion yang tak terlupakan. Banyak cerita untuk jadi dongeng buat anak-anak kita nanti. Benar, karena anak-anak kecil suka belajar dari dongeng.
Sedikit banyak peluh yang kita keluarkan demi acara ini tak akan pernah sia-sia. Jika aku bayangkan, kita saling tarik-menarik agar bisa sampai ke dermaga bersama-sama, dan tak ada yang tertinggal. Yang punya kekuatan dan posisi di depan menarik yang di belakangnya, dan yang memiliki kekuatan di posisi belakang berusaha sekuatnya untuk mendorong yang di depannya. Namun, apakah saling dan saling ini hanya akan berakhir di acara ini? aku harap tidak. masih ada satu langkah lagiuntuk menuju tempat pelabuhan terakhir bernama wisuda. Aku harap, awak kesebelasan MIA tetap saling memberikan motivasi. siap? mari berlayar lagi kawan....

DREAMLAND, edisi seoul-south korea



Catatan yang dulu hilang, maaf. Hari ini akan kumulai lagi, dengan menggantung beberapa harapan di dinding kamarku. Iya, mimpi yang sempat tenggelam beberapa waktu lalu kini mengapung lagi ke permukaan, dan bersegera ingin ke tepian. Dan aku berani bermimpi lagi karena beberapa orang yang ada di sekitarku, salah satunya si lelaki perahu kecil itu.  Ketika menonton film perahu kertas, harapan untuk bertemu lagi dengan si lelaki perah kecil tumbuh lagi, bersamaan gerimis yang menyiraminya. Perau kertas mengingatkanku pada perahu kecil miliknya, yang begitu sederhana. Jauh dari megah tapi selalu mampu bertahan mengarungi samudra biru. Bermusuh badai dan gulungan ombak besar. Aku masih ingin banyak belajar dari kesederhanaannya. Ah, apa aku yang terlalu menganguminya? Entahlah, aku hanya bersyukur bisa bermimpi lagi. Karena dengan mimpi aku merasa hidup lagi. Thanks for being a part of my dream, till I can survive and never give up.

Dan, ada orang lain lagi yang memanggil jiwaku untuk bangun dari lamunku yang tak tahu harus apa. Seorang teman dari pulau seberang, padang. Kami mulai mengukir mimpi untuk segera menginjakkan kaki di negeri kimchi, Korea. Ya, kuperkenalkan Uni onya. Mungkin bagi sebagian orang, mimpi itu mustahil. Tapi bagi kami, mimpi itu sebuah keajaiban. Mau tahu bagaimana ajaibnya? Oke, dengarkan ini. Di bulan Desember ini, salju turun di sana dan kami bisa merasakan tetesannya di pipi dari sini, Indonesia. Dengan memejamkan mata, kami berguling2 dia atas pasir putih yang tak akan pernah ditemui di negeri kami, salju. Kami saling lempar bongkahan salju itu, dan mengukir nama sekedar tuk abadikan moment bahwa dua gadis penggila seoul pernah sampai di sana. Ya, ini masih di mimpi. tapi kau tahu? Sebentar lagi mimpi ini bakal nyata. 

Tuhan memang begitu baik hati, yang selalu mengijinkan manusia untuk bermimpi apa pun, sampai yang kadang unpredictable sekalipun. Tapi kau tahu, dunia jadi berwarna dan bercahaya dengan mimpi-mimpi. Seperti tawa bocah-bocah kecil yang tulus dan polos. Di setiap jeda tawa mereka, ada mimpi, harapan dan cita.  Dan mereka, dengan tatapan mata yang berkilauan selalu ingin bergegas menggapai. Anak kecil tak pernah bisa berjalan, mereka selalu berlari dan melompat. Lalu, ketika bermimpi, kembalilah ke masa itu. Menjadi anak kecil dan segera berlari. Selamat bermimpi, semoga Tuhan memeluk dan memberi jalan untuk mimpi-mimpi kita.