Senin, 21 Februari 2011

BUKAN KELUARGA CEMARA

Aku memilih untuk tetap di sini ketika teman-temanku mengajak pulang. Jam kuliah terakhir sebenarnya sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Tapi seperti biasa, Icol teman sekelasku yang kebetulan juga menjadi ketua LPM Idea, sebuah lembaga pers di kampus kami menginstruksikan untuk briefing mengenai majalah yang akan diterbitkan semester ini. Tak terasa dua jam sangatlah cepat untuk ngobrol ringan di bawah beringin besar yang telah lama berdiri kokoh, mungkin seumuran dengan umur kakek-nenek kami. Satu persatu, teman-temanku berpamitan termasuk Icol. Sebelum berpamitan ia sempat mengajakku pulang bareng dia. Tapi aku menolaknya.

Aku masih duduk di bangku panjang, di bawah daun beringin yang memayungiku. Aku merasakan ia meliuk-liuk, seakan ingin bertanya padaku. Mempertanyakan kenapa aku masih di sini untuk menemaninya, padahal sehari-harinya pohon beringin itu akan merasakan sepi begitu sore menjelang karena para mahasiswa sudah pada meninggalkan kampus. Aku tetap membisu, mengangguk pelan karena iringan music yang kudengar lewat headsetku, dan sesekali bibir tipisku melantunkan lirik lagu dengan suara yang begitu lirih hingga tak sampai mengalahkan kicauan burung yang sedang membuat sarang di ranting-ranting beringin. Burung berkicau menandakan keriangannya, namun aku bersenandung membawa lara. Aku tak tahu harus mengadukan laraku ini pada siapa. Aku sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap siapa pun setelah trauma yang kualami beberapa waktu silam, ketika seorang sahabat mengkhianatiku. Untuk sore ini, mungkin aku cukup berterima kasih kepada angin yang memainkan rambutku, hingga aku merasakan hadirnya. Aku cukup berterima kasih kepada beringin karena telah menganggap aku di sini untuk menemaninya. Padahal, justru aku lah yang butuh teman. Mungkin hanya pada mereka saat ini aku harus bercerita. Aku tahu, mereka akan sangat senang mendengarnya.

--- bukan keluarga cemara ---

Aku memulainya dengan kenangan masa kecilku dulu. Masa yang selalu membuatku ingin memutar waktu untuk kembali padanya. Aku hanya mengenal tawa tanpa tangis. Aku hanya mengerti bahagia tanpa sedih. Aku membayangkan keluargaku adalah keluarga cemara yang nyata seperti sinetron favoritku yang dibintangi oleh Novia Kolopaking. Keluarga sederhana yang penuh cinta, meski aku dan Nino adikku tak perlu berjualan opak seperti Euis. Kita sudah merasa cukup dengan penghasilan bapak dari gajinya mengajar sebuah sekolah swasta yang memang tak terlalu banyak. Aku dan Nino selalu diantar ke sekolah dengan sepeda tuanya yang mirip punya Ki Hajar Dewantoro, sebelum bapak pergi ke sekolah tempatnya mengajar. Ibuku, meski dari keluarga yang masih memiliki darah keturunan Keraton Kasultanan Ngayogyakarto, namun ia mampu menerima hidup yang tak semewah masa remajanya dulu. Ibuku yang kreatif tak mau menyiakan waktunya hanya duduk di rumah sebagai ibu rumah tangga tulen. Ia masih menyimpan ilmu yang ia dapati di keraton dulu. Dengan canthingnya, ibu mulai memberikan warna pada kain yang tadinya polos. Sedikit-sedikit, ibu juga menjahit kain batik yang ia hasilkan sendiri menjadi baju-baju yang tampak mahal. Ibu selalu melakukannya setiap kami berangkat ke sekolah.

Di tengah hari yang terik, masih dengan sepeda tuanya bapak menjemput aku dan Nino. Kita harus melewati sawah yang cukup panjang untuk menuju rumah. Setiap sampai di sawah, bapak selalu mengajak kami bernyanyi diiringi desauan angin siang.

“Kiri kanan kulihat saja sawah hijau semua… kiri kanan kulihat saja sawah hijau semua.” Yang selalu diikuti ledak tawa Nino yang tak tahan kugelitiki karena lirik Nino selalu tak sama denganku dan bapak. Lirik Nino selalu ‘kiri kanan kulihat saja sawah ada penunggunya’.

Kami masih menyisakan gelak tawa ketika sepeda bapak ternyata sudah sampai di depan rumah. Ibu selalu menghentikan aktifitas membatiknya, menyambut kedatangan kami. Perempuan yang cantiknya khas jawa itu mencium punggung tangan bapak yang masih berbekas kapur tulis, seraya meminta tas bapak. Aku dan Nino bergantian mencium tangan ibu.

“Waktunya makan siaaaaaaaaang…” jeritku bersamaan dengan Nino. Dan kami pun langsung balapan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Bapak dan ibu hanya tersenyum akan tingkah laku kami yang tak pernah berubah.

“Fina, Nino… ganti baju dulu.” Kami pun meringis dan berlari ke kamar setelah selesai menyiapkan makan siang. Aku dan Nino berlomba-lomba untuk sampai duluan di ruang tengah yang sekaligus tempat kita berkumpul untuk makan siang. Lauk yang ala kadarnya memang, namun serasa makanan di restoran karena ditambahi bumbu kebersamaan.

Perempuan yang tak pernah memakai make-up di wajahnya namun selalu tampak cantik itu adalah istri yang sangat dicintai oleh bapak, dan ibu yang sangat kusayangi begitu juga Nino. Setiap jam Sembilan malam, ibu selalu meninabobokkan kami karena tak kunjung terlelap. Kadang ibu menceritakan tentang kejeniusan Einstein yang selalu membawa kami pada mimpi untuk menjadi sepertinya. Setelah kami terlelap, ibu beranjak ke dapur untuk menyeduh kopi buat bapak. Aku tahu ini, karena suatu hari aku pernah hanya pura-pura terlelap dan melihat apa yang dilakukan ibu. Ibu menyuguhkan secangkir kopi di samping bapak yang sedang membuat tulisan untuk dikirim ke salah satu koran harian di kota kami. Selanjutnya, ia akan duduk di sebelah bapak dengan aktifitas merajutnya. Istri yang romantis, pikirku. Bahkan aku ingin menjadi istri yang sangat perhatian sepertinya kelak, ketika aku sudah punya suami.

--- bukan keluarga cemara ---

Seekor burung gereja bertengger di bukuku. Senyumku akan kenangan masa lalu pun telah diusirnya. Ia menyadarkanku bahwa aku tak lagi sedang berada di masa lalu, namun aku kini sedang duduk sendiri di bawah pohon beringin, ditemani angin dan tambah burung gereja ini. Aku berada di masa kini. Dan ketika aku menyadarinya, air mataku menetes perlahan. Ada sebuah kerinduan yang mengendap di asinnya air mataku. Kerinduan pada ibu yang dulu.

---bukan keluarga cemara---

Aku tahu, hari ini hari ibu. Semua orang update status di facebook selalu dengan judul ibu, pengorbanan ibu, aku cinta ibu, dan seterusnya. Semua teman-teman di kampus menyebar setangkai bunga untuk kaum perempuan para calon ibu. Semuanya bahagia. Sedang aku, aku bahkan sudah lupa sosok ibu karena aku memang ingin melupakannya. Burung gereja yang tadi bertengger di bukuku, kini mematuk-matuk sepatuku. Mungkin ia sudah tak sabar ingin mendengar ceritaku.

“Iya, aku akan menceritakannya.” Bisikku lembut padanya, lebih lembut dari desauan angin yang masih menyisir rambutku.

Aku semakin tak paham dengan sikap ibu tiga tahun terakhir ini. Semenjak reuni dengan teman-temannya SMP dulu, sikap ibu berubah drastis. Ia jadi jarang sekali di rumah, bahkan kadang sampai tak pulang. Ketika aku tanya mengapa, ia selalu membawa ceritanya yang menurutku bagai mimpi memeluk bulan. Katanya ia akan menjadi milyader sebentar lagi. Ia akan mengajak bapak, aku, dan Nino bertamasya ke luar negeri. Aku hanya menggelengkan kepala, tak habis pikir.

Setelah bisnis boutiq yang dimulai dari menjahitnya dulu lancar, ibu bertemu dengan seorang teman SMPnya ketika reuni. Aku tak tahu siapa seorang teman yang bisa membuat ibu berubah begini. Seorang teman itu mengiming-imingi ibu untuk memperoleh laba yang lebih memuaskan dari hasil boutiqnya. Karena rayuannya ditambah bujukan teman-teman wanita semasa SMPnya, akhirnya ibu tertarik juga. Aku tak tahu jelas bisnis baru apa yang ditekuni ibu, tapi yang kutahu sekarang ibu mulai memperhatikan penampilannya. Ketika kulihat meja rias di kamarnya, aku menemukan alat-alat make-up serta parfum yang seharga kalangan artis. Aku pun merasa mulai kehilangan ibuku.

---bukan keluarga cemara---

Aku masih di kampus saat itu. Ibu menelponku, katanya bapak masuk rumah sakit. Aku harus segera ke sana karena ibu tak bisa menunggui bapak dengan alasan ada acara di luar berkaitan dengan bisnis barunya. Aku mendesah pelan, sedikit jengkel dengan alasan yang selalu sama. Akhirnya aku mengalah, tidak mengikuti jam kuliah berikutnya. Aku segera menuju ke salah satu rumah sakit di kota kami.

Aku melihat bapak dengan wajah pucatnya, terbaring tak berdaya. Meski begitu ia tetap memberikan senyumnya. Mungkin agar aku tak terlalu khawatir akan keadaannya.

“Gimana kabar bapak?” kataku sambil mencium tangannya.

“Nggak papa, tenang aja. Ni masih nunggu diagnosa dari dokter.”

“Ibu sudah pergi dari tadi, Pak?” bapak mengangguk pelan. “Kenapa sih sekarang ibu tu…” belum sempat kuteruskan kalimatku, bapak memotongnya.

“Nggak papa, Fin. Lagian bapak nggak terlalu parah. Toh sekarang juga sudah ada kamu di sini. Nino ke sini nggak?”

“Mungkin ntar setelah pulang sekolah.”

Berdasarkan diagnosa dokter, bapak mengalami struk dan dengan terpaksa harus berhenti dari pekerjaan mengajarnya. Keseharian bapak menjadi kelabu, namun ia selalu menyembunyikan kesedihannya. Sorot matanya merindukan murid-muridnya. Sedangkan ibu, ia semakin larut dalam dunianya yang baru. Bahkan bisnis boutiqnya juga mulai terabaikan. Meski bapak dalam keadaan tak berdaya seperti itu, ibu tak pernah lagi peduli. Yang penting ibu sudah memasak tiap pagi, dan langsung pergi. Ibu lebih sering pulang larut malam, bahkan ketika pagi hampir menjelang. Ibu tak pernah lagi berpikir bahwa bapak membutuhkannya. Aku kehilangan ibuku.

---bukan keluarga cemara---

Kebetulan komputerku lagi ngadat. Aku butuh mengetik tugasku. Aku berniat meminjam laptop ibu. Ketika aku hendak mengambilnya di kamar ibu, aku mendengar handphone ibu berdering. Aku pun menerima telepon dari seseorang yang namanya tak muncul di layar ponsel.

“Halo????”

“Gimana sayang? Kok smsku dari tadi nggak dibales? Kita jadi ketemu di mana malam ini? Aku sudah nggak sabar nih.”

Aku tak kuasa lagi menimpali suara orang di seberang sana. Air mataku mengalir deras. Aku tak jadi mengambil laptop ibu. Aku berlari ke kamarku, ingin sendiri.

Aku masih melayang dengan beribu tanda tanya di benakku. Aku masih tak yakin dengan apa yang barusan terjadi. Aku tak menyangka, ternyata di balik bisnis itu ada sesuatu yang tak kutahu dan sangat menyakitkan. Hatiku tersayat. Apakah bapak tahu hal ini? Aku tak akan memberi tahu bapak maupun Nino. Pasti mereka akan sakit hati, terlebih bapak. Aku akan menyembunyikannya dari mereka, tapi aku tak bisa menyembunyikan kemarahan ini dari ibu.

Aku mengajak ibu ketemuan di sebuah kafe setelah aku selesai kuliah. Setengah jam aku telah menunggunya. Lalu aku melihat sosoknya turun dari sebuah mobil avanza. Dia tidak sendiri. Sebelum turun dari mobil, aku melihat lelaki yang memegang setir mencium pipinya. Aku ingin menangis, tapi aku harus bisa menahannya.

Seperti yang kuharapkan, pertemuan ini berakhir dengan sebuah pertengkaran. Ibu memohon untuk kuberi maaf, dengan tangis yang sedu sedan, dengan janji tak kan mengulangi tuk kedua kali. Namun aku meninggalkannya dalam tangisan. Aku pergi, dia bukan ibuku lagi.

---bukan keluarga cemara---

Aku semakin tak peduli dengan apa pun yang dilakukan ibu. Aku memilih untuk diam. Hanya seperlunya aku bicara dengannya ketika di rumah. Aku mulai menyibukkan diriku dengan skripsiku dan lebih memperhatikan keadaan bapak. Aku lebih sering menemaninya setiap sore. Aku selalu menyuguhkan teh hangat dan membacakan koran untuknya.

“jjjam…seseggini…kkok…nniinno…” struk bapak semakin parah. Sekarang ia harus terbata-bata ketika bicara. Tanpa meneruskan kata-katanya, aku pun paham dengan apa yang dimaksud bapak.”

“Mungkin ada kegiatan ekstra di sekolah, pak. Sebentar lagi juga pulang.” Kataku menghiburnya. Aku melanjutkan membaca berita untuk bapak, namun benakku juga memikirkan tingkah Nino yang sekarang sering pulang telat, sering keluar malam, dan kadang ikut-ikutan seperti ibu yang nggak pulang ke rumah. Ketika aku pergi ke kamarnya, aku pernah menemukan puntung rokok berserakan dan sebuah foto keluarga kami yang telah robek. Apakah Nino tahu akan rahasia yang selama ini kusimpan? Tapi lagi-lagi aku tak berani memberitahukannya ke bapak, apalagi ibu. Aku hanya bisa menyimpan rahasia ini seorang diri. Aku tak tahu kepada siapa aku harus berbagi.

--- bukan keluarga cemara ---

Aku menghembuskan nafasku perlahan. Aku masih melihat burung gereja tadi, dan sekarang ia bertengger di pundakku. Aku memindahkannya ke telapak tanganku. Ternyata ia masih kecil. Apa ia juga kehilangan induknya? Apa ia juga kehilangan keluarganya?

“Aku masih memilikimu, wahai teman kecil. Aku nggak sendiri. Dan kamu tahu? Ternyata keluargaku bukanlah keluarga cemara.” Burung gereja kecil it uterus menatap mataku, seakan ia tahu kesedihanku. Aku pun membawanya pulang, meninggalkan senja yang mulai menghilang.

Ngaliyan, 20 Februari 2011

Ketika senja mulai meninggalkanku…

It was dedicated to someone who inspires this story…