Sabtu, 02 April 2011

IGAUANKU

Entah mengapa, tiba-tiba keinginan itu terasa begitu kuat. Semakin hari, ia bertambah liar menjalar. Mengisi setiap denyut nadiku, bahkan sampai ketika aku memejamkan mata barang sejenak. Ingin itu menyelinap diam-diam dalam mimpiku, tanpa proses ijin yang rumit seperti ketika hendak memasuki istana negara. Ia bahkan dengan mudahnya, menghipnotisku untuk selalu menggumam, menyebutnya dalam igauku. Entahlah, tapi hatiku tak keberatan.

Kamu, adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku merasa kita memiliki tulang yang sama. Kamu orang yang pertama kali aku lihat ketika aku terbangun dari lelapku. Kamu orang yang terakhir ditangkap oleh retina mataku sebelum ia istirahat dari kerjanya seharian. Kamu selalu mendengarku mengigau, setiap malam. Telingamu begitu tajam, walau matamu terpejam. Meski aku tak sadar dalam igauku, tapi aku tahu bahwa kamu selalu mendengarnya. Paginya kamu selalu menyapaku dengan kalimat yang sama, “Semalam mengigau lagi.”

Aku hanya tersenyum mendengar sapaan yang sama, tak merasa jenuh, bukankah setiap pagi ayam selalu berkokok dengan nada yang sama? Aku begitu bahagia dengan mimpiku semalam yang membuatku selalu mengigau. Tapi dari raut wajahmu, kamu mengatakan bahwa kamu bosan.

“Aku akan selalu mengigau selama ingin itu belum terpenuhi. Aku yakin, ia akan selalu menghantuiku, menari sesuka hati di mimpiku, dan setiap malam akan menjadi sebuah lagu yang mengiringi tidurmu.”

“Ah, ia selalu membangunkanku. Lebih berisik dari suara tangisan bayi di keheningan malam.”

“Itu pilihanmu. Sudah berkali-kali aku memintamu untuk memenuhi keinginanku tapi kamu selalu memiliki senjata untuk menepis inginku. Setiap pagi kamu mengkongkang pistolmu, dan peluru-pelurumu menghancurleburkan mimpi itu.”

“Ah, persetan dengan pilihan. Enyahkanlah inginmu itu.”

“Tidak. Ia tak akan bisa enyah selama kamu belum membayar apa yang kumau. Igau itu akan menggerogoti tubuhmu yang menjadi insomnia.”

“Shit!!!… Itu hanya igauan. Aku tak ingin peduli.”

Setiap pagi, sapaan yang selalu sama itu akan berujung perdebatan yang juga selalu sama, yang membuat kamu dan aku bertengkar. Pada akhirnya, dengan adegan yang sama kamu akan meninggalkanku dan membanting daun pintu begitu kerasnya. Kamu menghilang, tak pulang seharian, namun ketika larut malam karena aku tahu kamu masih ingin dalam pelukku. Kamu masih ingin menikmati tubuhku yang katamu selalu kau cintai.

Aku tahu, aku keras kepala. Tapi ingin ini sudah berakar lama, ia yang selalu merasuki jiwaku untuk selalu menciptakan pertengkaranku denganmu. Aku kadang menyesali pertengkaran ini. Terkadang juga aku takut kau tak akan kembali. Tapi kamu telah banyak bersilat lidah selama ini. Aku yang menyesal, tapi ingin itu yang selalu memberontak hingga aku seperti orang kesurupan. Aku meludahi wajahmu, aku membakar semua gambar wajahmu yang selalu menampakkan senyum palsu, juga cinta palsu. Aku berteriak-teriak mengumpat, mengeluarkan semua serapah di hadapanmu. Tak ingat lagi bahwa aku pernah mencintaimu. Tak ingat lagi akan kata-kata manismu yang akhirnya selalu membuatku mengulum bibirmu.

Aku teringat saat pertama kali keinginan itu mencoba untuk berdialog denganmu. Saat itu kita berada di sebuah café tempat biasa kita bertemu. Café yang cocok untuk para remaja yang sedang kasmaran seperti kita. Suasana yang romantis dengan diiringi lagu barat yang beraliran mellow, hidangan yang membuat lidah ketagihan, serta pendingin ruangan yang membuat para pelanggannya betah untuk berlama-lama. Seperti kita, apalagi di luar sana sang surya sedang menampakkan amarahnya tak lagi bersahabat dengan manusia. Mungkin karena tingkah manusia yang membuatnya mengganas seperti itu.

Aku masih ingat sekali, saat itu kita sedang menikmati eskrim kesukaanku. Sebenarnya dulu sebelum mengenalku kamu tak terlalu suka makan eskrim. Tapi hobyku yang satu ini mempengaruhimu. Aku memesan rasa coklat, kamu vanilla. Aku minta disuapi eskrim punyamu dengan manja, begitu juga kamu. Kita jadi seperti sepasang pengantin di atas pelaminan yang saling menyuapi mengikuti adat jawa. Kita tertawa riang ketika bibir kita jadi belepotan karena tangan kita menyengaja agar eskrim itu melumuri seluruh bibir kita. Dan pasti setelah itu kamu akan menjilati bibirku yang belepotan, membersihkannya dengan lidahmu. Begitu juga aku.

Dan aku masih ingat, ketika semua itu telah usai. Aku menggenggam erat tanganmu, seakan ingin menguatkanmu. Aku tahu bahwa keinginan itu akan memulai untuk berdialog denganmu. Aku khawatir ia akan menghantammu bagai suara petir yang menggelegar dan membuatmu goyah. Aku menggenggammu lebih erat.

“My honey, do you love me?” aku menatap matamu begitu dalam. Menelusurinya, mencari jawaban di sana.

“Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu meragukan cintaku selama ini?” katamu dengan nada agak tinggi dan kemudian kau lepaskan genggamanku. Memang selama ini tak pernah ada kalimat tanya seperti yang barusan aku ajukan. Selama ini kita saling percaya, dan menyampaikan bahasa cinta lewat malam-malam yang selalu terasa berpurnama. Malam yang terasa hanya milik kit berdua.

“Bukan begitu maksudku. Aku cuma takut kalau kamu meninggalkanku.”

“Tidak akan, sayang.” Ucapnya agak lembut.

“Kalau begitu berjanjilah kamu akan menikahiku.”

Kamu tak berani melihat mataku, takut kalau aku melihat keraguan di matamu. Kamu lebih memilih untuk mengalihkan pandanganmu ke arah pepohonan di luar yang sebagian daunnya tampak menguning, sebagian lainnya kering dan kemudian berjatuhan tertiup angin.

“Aku tak bisa berjanji.” Katamu dengan suara agak parau.

“Mengapa? Bukankah kamu sangat mencintaiku?” sergahku.

“Iya, aku akan mengusahakannya.”

Malam setelah keinginan itu berdialog denganmu yang berujung ketidakpastian itu, terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya yang kita lalui bersama. Setiap malam setelah percakapan antara kamu dan keinginan itu, aku selalu mengigau. Keinginan itu selalu hadir lewat mimpi-mimpiku, mengusik tidurmu. Membuatmu terkena sindrom insomnia. Mungkin ia akan berhenti setelah ada kepastian untuknya. Dan kepastian itu ada ditanganmu, kepastian itu pilihanmu.

Awal mulanya kamu menghiraukan igauanku. Malam pertama, kedua, ketiga. Kamu tak merasa terusik.

“Ah, mungkin itu hanya karena kecapekan. Nanti juga hilang.” Batinmu menghibur diri, ketika kamu mulai merasa agak terganggu di hari keempat.

Ternyata igauan itu tak hilang juga, bahkan sampai hari sering berganti. Sejak saat itulah kamu sering menyapaku di pagi hari dengan sapaan yang sama “semalam mengigau lagi” seperti suara kokok ayam yang juga selalu sama ketika fajar menyingsing. Sapaan yang sama, yang selalu berujung dengan pertengkaran yang sama.

“Sudahlah, aku muak dengan igaumu itu.” Katamu di salah satu pertengkaran setelah sapaan pagi yang selalu sama. Entah itu pertengkaran di hari yang ke berapa, aku tak ingat.

“Ia ada karena kamu yang membuatnya ada. Kamu yang memanggilnya untuk masuk ke dalam mimpimu. Bukankah aku sudah bilang dari dulu kalau aku tak bisa berjanji.”

“Justru karena kamu tak bisa berjanji itulah.”

“Aku mencintaimu, tapi sulit untuk menikahimu. Dari awal kita bertemu kamu kan sudah tahu kalau aku sudah berkeluarga. Ditambah lagi, karirku sedang mencapai puncak tertinggi Himalaya. Namaku sedang dielu-elukan oleh orang-orang yang mau dibodohi di luar sana. Lalu, apa kata dunia kalau seorang yang menjadi idola, yang selalu mereka hujani dengan sanjungan dan pujian ternyata menikah lagi dengan salah seorang mantan pelacur.”

Plakkk… tiba-tiba telapak tanganku telah mendarat di pipinya. Ia meringis merasakan ruas-ruas jariku yang masih tertinggal di sana.

“Shitt!!! Dasar laki-laki buaya. Persetan dengan karirmu. Kamu tahu? Keinginan itu selalu hadir karena ia sangat butuh kepastian. Aku sedang hamil, mengandung anakmu.” Jeritku, karena aku mulai meradang.

“Itu bukan anakku. Mungkin itu hasil kamu melacur di tempat lain.”

“Kurang ajar. Aku sudah berhenti melacur semenjak mengenalmu karena aku mencintaimu.”

“Aku hanya mencintai tubuhmu.”

Pyaaarrr…. Aku membanting frame yang berisikan photoku yang sedang berciuman denganmu. Aku semakin membenci episode yang sedang kulakoni saat ini.

“Gugurkan saja.” Katamu tanpa ada beban seraya melayangkan secarik cek dan selanjutnya kamu melenggang pergi, tanpa membanting daun pintu.

***

Beberapa malam kamu tak kembali. Mungkin karena kamu tak lagi mencintai tubuhku. Atau mungkin karena ada seorang bocah yang mulai tumbuh dalam janinku, hasil sumbangan spermamu di malam-malam itu. Atau mungkin kamu takut untuk mendengar igauanku yang selalu minta dipenuhi. Atau mungkin kalaupun akhirnya igauan itu telah berhenti karena kamu memenuhinya, kamu takut mendengar tangisan bocah ini di setiap pertengahan malam. Bayi tak berdosa yang menangis minta susu, atau karena mengompol. Mungkin saja.

Malam semakin larut. Aku galau dengan beberapa kemungkinan yang memenuhi benakku. Aku mengelus-elus perutku. Tiba-tiba aku mendengar bel apartemenku berbunyi. Aku beranjak membukanya. Dan kudapati dirimu berdiri tepat di depanku.

“Oh, kamu. Mau menghinaku lagi?” sambutku dengan nada ketus.

“Aku menyesali kesalahanku. Maafkan aku.”

“Semudah itukah?”

“Aku akan menikahimu. Biarkan aku masuk. Aku merindukanmu.” Belum sempat aku mempersilahkan, kamu telah mengisolasi mulutku dengan kecupanmu hingga aku tak bisa berkata-kata. Kamu menutup pintu apartemenku dengan tendangan kakimu. Kamu merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang telah beberapa malam kita lewatkan. Tanganmu meraih saklar lampu, mematikannya. Sesuatu yang tak pernah kamu lakukan setiap kita bercinta. Biasanya kau biarkan cahaya-cahaya itu menyala. ‘Biar tampak seperti istana yang megah dipenuhi gemerlap lampu’, katamu suatu waktu.

Kamu mematikan semua cahaya. Hanya ada sinar bulan yang menyusup dari celah jendela, seakan malu untuk menyaksikan kita bercumbu. Awalnya aku mengira, mungkin kamu ingin suasana yang romantis untuk babak kali ini. Tak ada yang mengusik. Tak ada suara, kecuali hembusan nafas kita. Aku tersenyum karena perkiraanku. Namun sejenak, hembusan nafasku berhenti. Kamu membunuhku.

11: 24 PM

Ngaliyan, 30 Maret 2011

Tercipta untuk para kaum hawa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar