Lintang semakin erat memelukku, setelah ia menciumi setiap helai rambutku. Aku bisa merasakan detakan jantungnya yang sarat akan kesepian ketika telingaku menempel tepat di dadanya. Bibirnya menelan setiap kata, tapi cengkeraman tangannya tetap membuatku terperangkap. Ia tak ingin melepasku. Sakit sebenarnya, dan aku hanya bisa bernafas pelan-pelan. Namun ketika aku melihat tatapan matanya, ada ketakutan di sana yang tak ingin ia ungkapkan atau mungkin belum saatnya. Dan aku rela saja memendam sakit ini dan membiarkannya untuk tetap mendekapku. Aku tak berani bertanya ketika ia belum bersedia untuk berkata-kata. Aku hanya bisa mencoba untuk mencari-cari jawaban itu sendiri, melalui detak jantungnya yang menembus ke ulu hatiku. Belum sempat aku mencarinya, Lintang membuka kesunyian.
“Apa yang sedang kamu cari?” katanya dengan suara datar.
“Mencari sesuatu yang kau sembunyikan di balik matamu.” Kemudian ia melepaskan pelukannya, meninggalkan aku yang masih terbaring di rerumputan. Lintang melangkahkan kakinya, menoleh kanan-kiri mencari sesuatu hingga akhirnya ia berhenti di samping genangan air sisa hujan yang baru saja berhenti. Ia bercermin, melihat wajahnya. Bukan, lebih tepatnya ia ingin melihat apa yang sebenarnya aku cari di dalam matanya. Aku mendekatinya.
“Apa yang kamu cari?” aku baru berani bertanya karena aku tak akan berani bertanya sebelum ia bersedia untuk berkata-kata.
“Mencari apa yang kamu cari. Mana? Aku tak menemukan sesuatu di mataku. Hanya ada warna putih dan bulatan biru di tengahnya. Bahkan tak ada lagi tempat untuk menyembunyikan sesuatu di mataku. Terlalu sempit.” Katanya ketika ia melihat bayangan dirinya.
“Mungkin kamu yang tak mau jujur pada dirimu sendiri. Ketika kamu bercermin di air itu, kamu melihat bayangan matamu dengan matamu sendiri. Coba sini, lihat mataku.” Kedua telapak tanganku memegang pipinya untuk mengalihkan pandangannya ke hadapanku.
“Biar mataku yang melihat matamu.” Malam mengikuti apa yang kukata, dan ia mulai menatap mataku. Tetapi, sejenak ia membuang jauh tatapan matanya, tak lagi menatap mataku.
“Mengapa?” aku terheran.
“Aku takut.”
“Mengapa?” tanyaku lagi.
“Entahlah. Sudahlah, tak usah lagi kamu mencarinya. Aku takut jika nanti kamu menemukannya.”
“Memangnya kenapa kalau akhirnya aku menemukannya? Bahkan aku ingin. Apa kamu sudah tak lagi percaya padaku?”
“Bukan begitu, tapi...”
“Ssssttttttt.....” kuletakkan jari telunjukku tepat di mulutnya. “Sudahlah, ijinkan aku menemukannya. Genggamlah tanganku erat dan tataplah mataku dalam-dalam.” Sekali lagi, Lintang menuruti apa kataku. Ia mulai menatap mataku lagi, dan ia menggenggam tanganku semakin kencang. Sakit sebenarnya rasanya, tapi aku rela.
“Aku berjanji, aku akan menjaganya ketika nanti aku menemukannya.” Bisikku lirih namun terdengar begitu jelas dalam keheningan.
Lintang begitu dalam menatap mataku, tanpa berkedip. Lama sekali, aku dan malam saling beradu pandang. Semakin lama, dan aku sebentar lagi akan menemukan apa yang aku cari. Aku sudah melihatnya akan keluar dari sudut matanya. Butiran-butiran yang indah itu, seperti mutiara-mutiara di lautan.
“Jangan takut untuk mengeluarkannya.” Bisikku lagi. Lintang semakin dan semakin dalam menatapku. Dan sedetik kemudian, butiran itu jatuh ke rerumputan. Satu, dua, tiga mereka berjatuhan dan berkilau terkena sinar rembulan.
“Mereka sudah keluar, kalau masih ada jangan takut untuk mengeluarkannya lagi.” Lintang pun mulai tak takut untuk membiarkan mutiara-mutiara itu jatuh berhamburan di bawah kakiku. Butiran itu semakin berhamburan, berserakan di sekitar kakiku dan kaki Lintang.
Lintang masih menatapku, meski butiran itu tak lagi berjatuhan. Entah ia ingin menjatuhkannya lagi atau karena sudah terlalu nyaman menatap mataku. Kami pun masih beradu pandang, dan aku melihat ada cahaya yang berbinar di matanya. Tak seperti tadi yang tampak kelam dan suram. Mungkin cahaya itu berasal dari tempat penampungan butiran-butiran mutiara yang telah berjatuhan.
“Hei, mereka sudah berhenti keluar. Kamu masih ingin menatap mataku seperti ini?” tanyaku setengah berbisik.
“Uh”. Lintang terkejut mendengar perkataanku seakan baru bangun dari ketidak sadarannya.
“Kok mereka bisa keluar? Kamu menghipnotisku ya?”
“Sedikit.” Kataku sambil mengerlingkan mataku. “Tapi sebenarnya kamu juga ingin mengeluarannya.”
@********@
Aku dan Lintang mengubah posisi duduk, tak lagi saling berhadapan. Lintang duduk tepat di sampingku dan tangannya masih menggenggam tanganku tapi tak begitu erat seperti tadi. Kami sama-sama mendongakkan kepala kami, memandang wajah bulan yang putih dan bersinar. Kebetulan bulan sedang menampakkan keseluruhan wajahnya tepat di pertengahan bulan menurut perhitungan jawa.
“Emmm, maaf. Aku tahu, tadi pasti sakit sekali ketika aku memelukmu. Itu karena aku merasakan sakit menahan butiran-butiran ini. Ternyata berat juga kalau dipaksakan untuk tetap menyembunyikannya. Tapi tadi aku juga takut untuk mengeluarkannya. Aku takut dibilang lemah karena tak mampu menahannya. Butiran-butiran itu kan nantinya menjadi mutiara yang biasanya dipakai oleh kaum perempuan untuk berbagai pernak-pernik. Disulap menjadi gelang ataupun kalung. Jadi yang berhak mengeluarkannya hanyalah para perempuan. Sedangkan aku kan laki-laki. Aku merasa malu untuk mengeluarkannya.”
“Hei, kaum laki-laki tidak diciptakan Tuhan untuk menjadi selalu kuat. Kalau kian lama, butiran yang disembunyikan akan semakin banyak dan pastinya bertambah berat. Suatu saat pasti tidak kuat juga. Lagian apa salahnya kalau dikeluarkan? Lihatlah.” Kataku sambil mengambil segenggam butiran yang dekat dengan kakiku.
“Lihatlah Lintang, mereka sangat indah. Kalau kamu tak mau, biar buat aku saja. Nanti kususun menjadi sesuatu yang lebih indah.” Lintang hanya tersenyum tipis melihat aku yang kegirangan dan mulai mengumpulkan mutiara-mutiara itu, memungutinya satu per satu. Dan aku begitu terpesona akan keindahannya. Tak semuanya berbentuk bulat tapi ada yang lebih indah seperti kristal, dengan warna yang berbeda pula. Semuanya tergantung dari perasaan kita ketika mengeluarkannya.
Setelah berhasil mengumpulkannya, aku menaruhnya di pangkuanku, kuberi alas rok yang kupakai agar tidak berjatuhan lagi di rerumputan. Susah untuk mengumpulkannya lagi.
“Tahukah? Sebenarnya bukan hanya mutiara-mutiara ini yang kucari di matamu.”
“Lantas?”
“Lebih dari itu. Yang kucari ada di dalamnya.” Dari raut mukanya, Lintang kelihatan heran mendengar apa yang kukatakan. Dan aku hanya tersenyum melihatnya seperti itu.
“Ya sudah,sekarang lihatlah yang ini.” Kataku seraya mengambil salah satunya.
“Yang ini berwarna kelam abu-abu. Bentuknya tak beraturan. Emmm….. kamu pasti sedang berada dalam perasaan kebencian ketika mengeluarkannya. Iya kan?”
Lintang tak percaya, aku bisa menebak sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang kucari dari matanya, sesuatu yang lebih dari sekedar butiran-butiran yang mungkin tak bernilai buat orang lain, sesuatu yang ada di balik semua itu, yaitu perasaannya Lintang. Raut wajahnya menampakkan sebuah keheranan.
“Gimana? Tebakanku benar kan? Emang kamu lagi benci sama siapa?”
“Yup. Aku membenci diriku sendiri. Mau tahu kenapa?” aku hanya mengangguk seraya menunggu lanjutan cerita Lintang.
“Di antara lintang-lintang yang kerlap-kerlip malam ini, hanya aku yang paling sedikit memberikan sinar. Sinarku begitu redup. Harusnya aku bisa bersinar terang seperti mereka.”
“Hei, siapa bilang kamu tak memberikan sinarmu? Mungkin kamu tak bisa memberikan cahaya yang begitu putih dan menyilaukan mata. Tapi kamu bisa memberikan sinar biru di matamu yang penuh keteduhan. Lihatlah lintang-lintang di sana. Tak semua dari mereka memberikan putihnya. Ada juga yang berikan warna jingga. Ingatkah kamu? Tuhan menciptakan kita dengan keistimewaan sendiri-sendiri. Hanya, berikanlah yang kau miliki.”
“Iya, kamu benar.”
“So, jangan terlalu membenci dirimu. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Udah saatnya memaafkan diri kamu. Ah sudah lah. Kok jadi melankolis gini. Kita lihat butiran yang lain yuk.” Tanganku mencari-cari butiran lain yang berbeda bentuk dan warna. Kali ini berbentuk seperti mutiara yang sangat mulus. Tak ada benjolan sedikitpun. Warnanya biru lembut.
“Yang ini indah. Kayaknya kamu teringat sama sesuatu yang membuatmu terharu. Apaan tuh?”
“Sebenarnya itu sudah mau keluar sejak tadi ketika di bus kota aku bertemu dengan seorang bocah berumur sekitar lima belas tahun. Wajahnya bersih juga tampan. Perawakannya sangat cocok bila jadi tentara. Namun sayang, dia tak bisa melihat. Dari pakaian yang ia kenakan, tampaknya ia baru pulang dari sekolah. Ia duduk tepat di sampingku. Ia buka sebuah buku yang bertuliskan huruf braille. Tangannya meraba-raba, mulutnya bergerak-gerak, seperti sedang mengeja.” Lintang sejenak menghentikan ceritanya, menghela nafas. Dan aku seperti merasakan ada bocah itu duduk di sampingku, seperti yang diceritakan Lintang.
“Yang membuatku haru adalah semangatnya. Aku saja, yang dianugerahi Tuhan sepasang mata yang normal, begitu malas untuk membaca. Hampir saja tadi aku mengeluarkan butiran itu. Tapi aku malu, aku takut dibilang aneh. ”
“Kalau gitu, jangan terharu aja dong. Mulai sekarang rajin baca. Biar tambah pinter.”
“He’em nih. Seandainya, semua anak Indonesia kayak bocah tadi ya. Pasti bisa ngalahin Amerika.”
@********@
Sepertinya Lintang menyembunyikan salah satu butiran itu di saku jaketnya. Dia tersenyum sendiri mengira aku tak tahu. Padahal mataku begitu jeli melihat gerak-geriknya. Dengan cekatan, tanganku begitu cepat membuat butiran itu beralih di tanganku. Bahkan Lintang tak menyadarinya. Seperti sulap.
“Loh, kok sudah di tanganmu? Kamu menghipnotisku lagi ya?”
“Kenapa disembunyiin?” Lintang malah terkekeh.
“Aku malu kalau kamu tahu. Tapi ya sudahlah. Kamu memang paling mahir memancingku. Itu tadi karena aku sedih setelah kehilangan kelinci kesayanganku. Mati ketabrak mobil tadi pagi.”
“Hahaha…” aku tak bisa menahan tawa. Ternyata seorang Lintang penyayang binatang.
“Eh, jangan salah ya. Ada yang bilang orang bisa masuk surga gara-gara hewan loh.” Kata Lintang membela dirinya
“Iya deh, percaya. Seratus persen malah.” Tiba-tiba mataku melihat sesuatu yang berkilau di kejauhan sana. Masih di rerumputan. Mungkin tadi terlewatkan. Aku pun beranjak, mengambilnya. Kilaunya lebih mencorong dibanding butiran-butiran yang telah kukumpulkan tadi. Ia seperti kristal. Warnanya tampak seperti pelangi ketika terkena sinar bulan, mejikuhibiniu. Mengagumkan.
“Lintang, lihatlah. Ini paling indah.” Teriakku sambil mendekatinya.
“Dari tadi kamu selalu tepat menebak apa yang di balik butiran-butiran itu. Jangan-jangan kamu paranormal ya?” kata Lintang ketika aku telah berada di hadapannya. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya.
“Kamu sedang jatuh cinta kan?” aku juga merasakannya, batinku. Aku berharap Lintang mengangguk dan mengatakan bahwa aku adalah cintanya. Ayo Lintang, katakanlah bahwa kamu mencintaiku. Katakan bahwa kamu akan selalu menggenggam tanganku erat, kataku dalam hati.
“Aku memang sedang jatuh cinta. Kamu pasti tahu dengan siapa aku jatuh cinta.”
“Siapa? Aku tak tahu.”
“Emmm…. Aku mencintai Wulan.” Kata Lintang setengah berbisik, namun kedengaran seperti suara meriam yang baru diledakkan.
Aku tersentak mendengar pengakuan Lintang, dan tanpa kusadari ternyata aku telah berlari meninggalkan Lintang. Aku bersembunyi di balik pohon akasia yang tak lagi berdaun. Aku mengeluarkan butiran yang hampir mirip dengan yang dikeluarkan Lintang tadi. Tapi bedanya, butiran yang seperti kristal ini, retak di dalamnya. Tak lagi terlihat indah.
“Maaf Lintang, kalau aku mencintaimu. Mungkin memang tepat jika kamu bersanding dengan Wulan. Lintang dan Wulan, Bintang dan Bulan. Hemmm… pasangan yang cocok, hahaha.” Aku bergumam, menertawakan diriku sendiri.
My beloved green house,
Di periode jingga, 27 Maret 2011
Buad Lintang yang mencintai Wulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar