Hujan turun sore ini, menyembunyikan senja. Tepat ketika Bunga hendak keluar dari tempatnya mengaji di sebuah gubuk kecil yang mereka sebut surau. Sebuah bangunan kecil terbuat dari anyaman bambu yang mereka susun dengan terampil, beda jauh dengan mushalla ataupun masjid di kota-kota. Bapak Bunga salah satu dari mereka yang membangun surau itu. Bergotong royong mereka mengumpulkan dan menganyam sisa-sisa bambu yang tak dipakai untuk membuat berbagai kerajinan dari bambu. Tapi begitulah, rumah Bunga dan rumah teman-temannya juga terbuat dari bahan yang sama, tak seperti rumah di kota-kota yang terbuat dari batu bata berperekat semen. Pernah suatu hari Bunga begitu mengagumi sebuah bangunan megah, beralas keramik dari marmer. Banyak tulisan kaligrafi menghiasi tiap dindingnya. Saat itu adalah pertama kalinya Bunga bertandang untuk berteduh. Hujan tiba-tiba turun tanpa memberi aba-aba ketika Bunga masih sibuk menawarkan koran-korannya di perempatan lampu merah. Bunga lari terburu-buru menyembunyikan koran-koran itu dibalik kaos oblongnya agar tak terkena hujan. Dan, bangunan megah itulah yang paling dekat untuk berlindung.
Hujan begitu lebat mencegat langkah Bunga. Ia mengurungkan niatnya untuk pulang karena tak membawa payung, tak pula ada yang menjemput. Teman-temannya yang membawa payung telah lebih dahulu pulang. Beberapa menunggu hujan reda bersama Bunga, namun satu persatu dari mereka meninggalkan Bunga ketika bapak, ibuk, atau kakak datang menjemput. Bunga sendirian. Ia jongkok diatas tanah yang menjadi teras surau. Air hujan menetes tepat di depannya membuat cekungan, ia mainkan. Bunga teringat saat berteduh di bangunan megah seperti istana milik Ratu Bilqis yang dikisahkan Kak Budi, guru ngaji Bunga setelah semua muridnya selesai mengeja huruf hija’iyyah. Kata orang-orang, inilah yang dinamakan masjid tempat beribadah kepada Tuhan. Kebetulan saat itu adzan dhuhur berkumandang, sekalian saja Bunga ambil wudhu dan ikut sholat. Bunga masuk masjid masih dengan wajah penuh kagum. Namun, sesuatu membuatnya tertegun ketika hanya ada seorang imam dan dua orang jama’ah laki-laki dibelakangnya. Berarti jumlah jama’ah hanya empat termasuk dirinya. Orang-orang pada kemana? Batin bunga bertanya-tanya.
Usai sembahyang, Bunga berteduh di teras masjid yang menurutnya lebih cocok disebut istana. Bunga duduk bersila di teras masjid menunggu hujan reda. Ia tak mau koran dagangannya basah. Bunga menunggu dengan senang hati, membayangkan sedang berada di istana. Bahkan, Bunga sempat berguling-guling menikmati lantai marmer yang tak akan pernah ia dapati di rumahnya maupun di tempat mengajinya sampai akhirnya ada seseorang datang menegur.
“Bocah kecil, bisa baca tulisan itu kan?” tanya seorang laki-laki seumuran Kak Budi yang dikenali Bunga sebagai imam shalat tadi sambil menudingkan jarinya ke sebuah kertas yang tertempel di tiang penyangga bangunan itu. DI LARANG TIDUR DI MASJID. Mulut Bunga tampak bergeming sejenak, mungkin mengeja tulisan itu.
“Aku tidak tidur kak, hanya menunggu hujan.” Laki-laki itu hanya mengangguk paham. Dan sebelum ia beranjak pergi, Bunga menghentikan langkahnya dengan pertanyaan.
“Orang-orang pada kemana kak? Kok masjid ini sepi sekali?” pertanyaan polos Bunga mampu menarik laki-laki bernama Ahmad itu untuk duduk bersama Bunga.
“Ya beginilah.” Sejenak Ahmad menghela nafas yang agaknya berat. Bukannya dia tidak bisa menjawab pertanyaan Bunga, namun lebih pada bagaimana menjelaskan dengan kalimat yang bisa dicerna oleh bocah yang seharusnya duduk di bangku taman kanak-kanak.
“Masjid ini ramai hanya dua kali dalam setahun, pada saat shalat hari raya.”
“Kenapa kak? Padahal masjid ini luas dan nyaman. Aku aja betah di sini. Di surau kami selalu sesak. Penuh jama’ah dari anak kecil sampai kakek-kakek. Bahkan ketika tidak kebagian tempat, orang-orang rela menggelar tikar di luar surau.”
“Iya, jam-jam segini mereka biasanya masih sibuk bekerja di kantor.”
“Tapi bapak, Pak Lek Tomo, Pak Lek Joko, dan Mbah Sugiono meninggalkan sawah mereka menuju surau ketika Kak Budi sudah mengumandangkan adzan. Begitu juga dengan Yu Darsih, Mbok Karti, dan Mak Ijah meninggalkan chanting mereka. Mereka berhenti membatik sejenak. Aku dan teman-temanku pun segera berhenti bermain.” protes Bunga. Dahi Ahmad berkerut, serius berpikir.
“Itulah jawabannya.” Kata Ahmad akhirnya dan dahi Bunga ikut berkerut juga, tak mengerti. Tapi bunga segera meninggalkan Ahmad untuk menjajakan korannya yang tersisa setelah hujan berhenti.
Bunga masih terjebak hujan di surau. Bosan bermain air, Bunga beranjak ganti posisi. Dia memilih untuk duduk ditengah teras yang agak jauh dari tetesan air hujan. Tangan bunga menemukan sebatang korek api yang sudah bekas. Mungkin itu habis digunakan untuk menyulut rokok para petani usai sholat dhuhur tadi siang sembari istirahat sebentar. Ah, tapi Bunga tak peduli. Menggunakan batang korek itu Bunga mulai menggambar di teras surau yang masih beralaskan tanah. Bocah kecil itu memang tak pernah belajar di Taman Kanak-kanak dan setiap pagi hingga siang ia lebih memilih menjajakan koran, namun bukan berarti dia tak bisa menggambar seperti anak-anak yang lain. Bunga mulai menarik garis lurus, ke kanan, ke kiri sampai membentuk gambar balok seperti kardus. Bunga membubuhi gambar melengkung yang runcing ujungnya di atas balok itu. Dan setelah selesai, mata bunga menyapu setiap sudut surau. Bunga sedang berpikir sesuatu.
Kali ini, bukan karena berteduh dari hujan. Bunga memang sengaja mampir masjid dekat perempatan lampu merah yang baginya adalah istana ratu Bilqis. Kebetulan hari ini korannya laris manis. Bunga memutuskan tak langsung pulang karena merindukan istananya, ingin sembahyang di sana. Mata bocah itu melihat suasana yang sangat berbeda dari pertama kali ia berkunjung. Masjid mewah itu ramai penuh orang. Memang waktu sembahyang dhuhur akan tiba, mungkin mereka akan ikut jama’ah bersama Kak Ahmad, batin Bunga. Bunga pun melepas lelah, duduk mengamati para pendatang itu. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya, Bunga terlalu polos untuk memahaminya. Mereka para orang dewasa, bergerombol ke sana kemari hampir ke semua ruang bangunan itu, kecuali mimbar untuk khutbah. Dari taman sampai ke tiang-tiang. Salah satu dari mereka membawa sebuah benda berbentuk kotak yang tak pernah dilihat Bunga sebelumnya, kamera digital. Sedangkan yang lain tertawa lebar, kadang meringis, kadang memoncongkan bibirnya. Aneh, pikir Bunga.
Adzan yang ditunggu Bunga terdengar juga, merdu seperti suara Bilal bin Rabah orang yang pertama kali mengumandangkan adzan pada zaman kanjeng nabi. Bunga pun bersegera ambil wudhu. Ketika hendak mengikuti gerakan imam, Bunga baru sadar kalau jumlah jama’ah tak bertambah, tetap seperti kemarin. Hatinya bertanya-tanya, kemana orang-orang yang tadi ramai memenuhi masjid? Mengapa tak ikut shalat berjama’ah? Selama shalat, ternyata pikiran Bunga masih terbawa dengan pertanyaan di benaknya. Yang terjadi tidak seperti perkiraannya tadi. Padahal dia berharap sekali shaf jama’ah penuh seperti di suraunya. Hati Bunga sedih.
Bunga pulang ke rumah dengan langkah perlahan. Otaknya masih belum bisa menemukan jawaban mengapa di masjid yang megah seperti istana dan seluas hamparan sawah begitu sepi sedangkan suraunya yang kecil saja jama’ahnya membludak. Tiba-tiba, ketika sampai di bawah pohon akasia Bunga menghentikan langkahnya. Matanya berbinar seakan ada berlian memantulkan sinar. Setelah itu, ia mempercepat langkahnya. Setengah berlari. Ada senyum tersungging di bibir mungilnya. Mungkin ia telah menemukan sebuah jawaban.
Sampai rumah, Bunga menemukan bapaknya sedang menganyam bambu untuk dijadikan baki-baki lamaran yang nanti akan dijual di pasar. Gadis polos itu bergegas menghampiri bapaknya.
“Bapak, kenapa tidak ada masjid besar di kampung kita? seperti yang di pinggir jalan itu pak?” laki-laki berumur empat puluhan itu hanya menyunggingkan senyum.
“Surau kita sempit pak, sudah tak muat lagi. Kenapa kita tidak shalat ke masjid besar itu aja? Di sana luas, kosong lagi.” Bapak Bunga berhenti menganyam bambu, serius mendengarkan celotehan putrinya.
“Emm… atau kalau nggak, gimana kalau suraunya dibangun menjadi masjid yang seperti istana Ratu Bilqis, Pak? Pasti nanti lebih banyak yang datang untuk sembahyang bersama? Mata Bunga bersinar-sinar membayangkan inginnya. Ganti bapaknya yang kesulitan mencari jawaban. Bagaimana mau merenovasi surau? Uang dari mana? rumah orang-orang di sini saja berdinding anyaman bambu semua, tak ada yang kuat membangun rumah berbatu bata. Untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak saja sudah terasa berat sekali.
“Bunga, untuk beribadah pada Gusti Allah ndak perlu tempat yang besar dan megah. Yang penting hati kita bisa sampai kepadaNya. Dan kita selalu bersyukur.”
“Ah, tapi Bunga ingin masjid yang seperti istana.” Rengeknya. Ia tak puas dengan jawaban bapaknya. Dia berharap mendapat dukungan, tapi ternyata tidak. Bunga berlari meninggalkan bapaknya, menyabet sehelai kerudung kemudian bergegas ke surau.
Surau kecil di bawah pohon beringin itu masih sepi. Belum waktunya shalat, waktu mengaji pun masih menunggu usai shalat ashar. Bunga bermain sendiri di teras surau. Ia menggambar lagi seperti tempo itu, tapi kali ini ia menggambar menggunakan pecahan genting yang pungut di jalan tadi. Dia benar-benar ingin wujudkan mimpinya.
Seluruh kampung digegerkan oleh keinginan Bunga, yang tak pernah sempat terpikirkan oleh mereka. Ada yang mencerca, ada pula yang membenarkannya. Begitulah manusia.
“Bocah edan, mbangun rumah aja susah apalagi mbangun masjid?” kata orang-orang yang mencerca.
“Iya ya. Betul juga. Jumlah penduduk kian hari semakin bertambah saja. Surau sampai tak muat untuk menampung jama’ah. Surau memang butuh direnovasi.” Kata orang-orang yang membela Bunga. Sedangkan bapak Bunga, bingung untuk menempatkan dirinya.
Akhirnya, Pak Herman sebagai kepala desa mengadakan rapat di surau itu. Semua warga dikumpulkan di sana, tapi surau tak muat untuk menampung mereka semua. Sehingga, banyak yang duduk diluar, sampai di bawah pohon beringin. Bunga berada di belakang surau, hanya mengintip lewat celah-celah anyaman bambu yang menjadi dinding surau. Ia tak menyangka, inginnya menggegerkan semua orang. Bunga setengah takut.
Keputusan berhasil ditentukan saat itu juga. Pak Herman mengatakan “Surau ini akan di renovasi”. Dan selanjutnya diikuti ketukan jarinya tiga kali di meja yang biasa digunakan mengaji. Beberapa orang tidak setuju, tapi banyak orang yang bersemangat memperbaiki surau. Hari berikutnya, beberapa pemuda, bapak-bapak, dan ibu-ibu disibukkan dengan pencarian dana. Semua warga mengumpulkan kaleng-kaleng bekas. Ada yang di dapat dari hasil mereka memulung, dan ada yang sisa dari tempat kue-kue lebaran. Setelah terkumpul, kaleng-kaleng itu mereka bungkus dengan kertas bertuliskan ‘mohon bantuan dana untuk pembangunan masjid’. Bunga tak mengerti dengan apa yang mereka lakukan. Ia pun masih seperti biasanya, menjajakan koran dan kadang mampir ke masjid pinggir jalan itu.
Penggalangan dana telah berjalan kurang lebih dua bulan. Hampir separuh penduduk kampung Bunga pergi meninggalkan kampung setiap pagi, dan pulang di petang hari. Mereka membawa kaleng-kaleng bekas itu, berpencar ke kampung lain. Mulai dari kampung tetangga, hingga ke luar kota. Kampung menjadi sepi di siang hari, tak seperti dulu. Bunga tak paham apa yang sedang terjadi di kampungnya. Di tengah terik matahari ketika sayup-sayup ia mendengar suara adzan Kak Budi, ia bersama bapaknya segera berlari ke surau kecilnya yang teduh terhalang pohon beringin yang berusia hampir seratus tahun. Tak seorang pun ia dapati, kecuali Kak Budi yang baru saja selesai adzan. Jama’ah siang itu hanya dirinya, bapaknya dan Kak Budi yang menjadi imam. Sepanjang shalat, Bunga baru memahami apa yang tengah terjadi. Bunga meneteskan air matanya, merindukan suraunya yang tak senyap seperti ini.
Ngaliyan, 22 January 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar