Orang-orang memanggilnya Bang Jack. Kata mereka, dialah yang merintis berdirinya pesanggrahan ini. Pesanggrahan kalamende namanya. Dia memang bukan penduduk asli kampung ini, bahkan dia datang dari daerah yang cakup jauh. Butuh waktu sehari semalam untuk menempuh jarak sampai ke sini, itu pun sudah menggunakan kereta api. Bang Jack datang dari ibukota negeri ini yang sering kudengar namanya di televisi tapi sama sekali belum bisa kubayangkan untuk bisa sampai ke kota yang kabarnya seperti surga dunia itu. Semua tersedia di Jakarta, kata mereka. Bang Jack sosok laki-laki yang berpengaruh di sini meski tak berparas sangar ataupun memiliki tubuh yang kekar. Bang Jack hanyalah seorang manusia yang bisa dibilang kurus, lebih tampak tulangnya. Mungkin karena ia memiliki kharisma tersendiri, atau karena apa yang telah dilakukannya untuk kampung ini. Banyak orang segan terhadapnya, bahkan para ibu berhasrat untuk menjadikannya suami bagi anak-anak perempuan mereka.
Kebetulan, Bang Jack mulai menginjakkan kakinya di kampungku hampir bersamaan ketika aku meninggalkan kampung ini. Seusai tamat pendidikan menengah aku diminta Pak lik, adik dari ibu untuk tinggal di rumahnya. Walaupun masih dalam satu kota, namun rumah Pak Lik cukup jauh. Di sana aku diminta untuk membantu momong anak kembarnya yang masih duduk di sekolah dasar sepulang dari sekolah. Aku mau saja karena Pak Lik bersedia menanggung biaya sekolahku. Paling tidak bisa meringankan beban ibu. Toh, ibu masih harus menyekolahkan adikku yang tiga jumlahnya. Tiga tahun aku meninggalkan kampung ini, jadi aku tidak terlalu paham siapa Bang Jack yang kerap dibicarakan itu. Mulanya aku juga tak mau tahu.
Aku baru saja tiba di rumah dua hari yang lalu. Begitu menerima ijazah SMA, ibu memintaku kembali ke sini. Aku tak bisa menolak permintaannya ini, Pak Lik pun dengan berat hati mengantarku pulang. Walaupun Pak Lik sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, tapi tetap saja dia harus merelakanku. Mungkin sudah saatnya aku membantu ibu ngrumat adik-adikku.
Sebuah hal yang diluar perkiraan, tiba-tiba ibu membicarakan tentang pernikahan. Ternyata ibu tak jauh beda dari ibu-ibu di kampung ini yang berkeinginan untuk menjadikan Bang Jack sebagai menantu.
“Nduk, kamu ini sudah saatnya menikah. Sekolah pun sudah tamat kan? Lihat lah teman-teman bermainmu sewaktu kecil dulu sudah banyak yang menikah. Bahkan ada juga yang sudah menggendong anak lho.”
“Kamu tahu Bang Jack yang tinggal di bekas rumah Pak Hasyim itu? Dia itu baik, nduk. Semua orang ingin dia menjadi menantu di rumahnya. Ibu juga ingin, nduk.”
Bagai ada palu yang mengetok kepalaku. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kata pernikahan saja belum sempat terlintas barang sekali di benakku apalagi untuk melakoninya. Begitu juga, siapa itu Bang Jack? Mengenalnya saja tidak. Ah, ibu bisa-bisa saja.
“Kalau kamu setuju, nanti biar Pakde Ridwan yang nembung ke dia. Kebetulan Pakdemu itu akrab dengannya karena sering bergabung di pesanggrahan Kalamende.”
Duh, apalagi ini sampai ibu melupakan budaya patriarki yang berlangsung turun temurun dari leluhur. Saru katanya kalau pihak perempuan yang nembung duluan. Tapi kenapa ibu seakan tidak lagi mengenal kata saru itu.
“Jangan terburu bu, nantilah biar aku tahu siapa itu Bang Jack.” Kataku pada ibu.
Semenjak inilah aku jadi tertarik untuk lebih tahu tentang Bang Jack. Sepulang belanja dari pasar, aku bertemu si Marni teman lamaku dari kecil. Setelah bertegur sapa, kita pun hanyut dalam perbincangan sekalian untuk menyisir langkah menuju rumah masing-masing.
“Marni, kamu kenal yang namanya Bang Jack? Seperti apa to dia?”
“Kenapa memangnya? Ibumu ingin menikahkanmu dengan Bang Jack juga?” aku mengangguk pelan. Tiba-tiba Marni melepaskan tawanya. “Semua ibu-ibu di sini terkena virus apa ya, Fi. Memang si Bang Jack orangnya baik, juga sudah membuat perubahan untuk kampung kita ini tapi aneh juga dengan sikap ibu-ibu itu.” Ternyata kabar yang berseliweran itu benar adanya. Aku jadi semakin penasaran tentang Bang Jack , kenapa dia seakan menjelma jadi Yusuf yang membuat semua wanita terkesima dan terpesona. Aku masih dalam lamunanku ketika Marni hendak belok ke gang rumahnya. Dan aku baru sadar Marni sudah tak berada di sebelahku. Aku pun setengah berlari mengejarnya.
“Marni tunggu, apa kau bilang tadi? Perubahan? Emang perubahan gimana maksudmu?” Marni tersenyum. “Datang aja ke pesanggrahan Kalamende, Fi.” Jawab marni sambil lalu.
***
Aku terbius juga oleh omongan Marni kemarin. Langkahku terhenti di depan sebuah rumah tua yang dulunya ditinggali Haji Hasyim yang kata orang kini dijadikan tempat tinggal Bang Jack. Ada sebuah papan tergantung di dinding luar, bertuliskan ‘pesanggrahan kalamende’. Aku agak ragu memasuki halaman rumah yang tak berpagar ini. Perasaanku gamang. Ingin membatalkan niat untuk bertandang ke sini. Ada prasangka buruk jika pesanggrahan ini punya embel-embel misi teroris seperti yang lagi marak saat ini. Tapi ternyata rasa penasaran ini mampu mengalahkan kegamanganku. Aku melanjutkan kembali langkahku, sampai juga di depan daun pintu. Aku mengetuknya, pelan. Tak ada sahutan. Kuulang lagi hingga tiga kali, tetap sunyi. Kuputuskan untuk pulang walaupun masih banyak tanda tanya menggantung di benakku, tentang Bang Jack.
Esok hari, rasa penasaran menuntunku untuk kembali ke pesanggrahan ini. Dalam bayanganku, Bang Jack adalah sesosok orang yang berbadan besar, kekar, berkumis. Mahal senyum yang akan mendukung kesangarannya. Namun, semua bayangan yang kugambarkan dalam imajinasiku itu runtuh semua setelah hari ini aku berhadapan langsung dengannya. Dan ketika kusodorkan sketsa gambarku tentang dirinya, Bang Jack pun tertawa.
Aku mengganti kanvasku, memulai lukisan yang baru tentang Bang Jack. Jika orang melihat lukisanku ini nanti, seakan melihat lukisan Presiden Soekarno yang penuh kharisma. Aku mulai menggambar ketika Bang Jack mengangkat penanya, menuangkan syair-syairnya di lembaran-lembaran yang mampu menyuarakan keresahannya atas negeri ini, khususnya kampungku. Aku meneruskan gambarku ketika Bang Jack berdiri, menggaungkan ide-idenya seperti ketika Soekarno berpidato di hadapan rakyat Indonesia di masa penjemputan kemerdekaan. Bedanya, Bang Jack berbicara di hadapan para penduduk kampungku yang rata-rata masih berpikiran negatif tentang pentingnya belajar. Bang Jack menularkan virus-virus kebangkitan. Itulah mengapa ia mendirikan pesanggrahan ini, pesanggrahan kalamende.
Dari penggambaran fisiknya, Bang Jack lebih terlihat kesederhanaannya. Kaos oblong dengan celana panjang membuat penampilannya santai, tanpa neko-neko seperti yang dilakukan para laki-laki metroseksual. Bang Jack memang tipe orang yang tidak terlalu memperhatikan penampilan fisiknya, tapi justru inilah yang mengundang ketertarikan orang lain padanya. Dengan tampil apa adanya, memberikan magnet tersendiri yang membuat orang percaya. Bang Jack yang bertubuh ceking, memperlihatkan tulangnya seakan dia adalah seorang pemimpin yang dalam ungkapan Belanda Leiden is Lijden. Sebuah ungkapan yang dulu pernah didengungkan untuk menggambarkan kondisi Agus Salim saat berkiprah menjadi salah satu pemimpin negeri ini. Memang, secara formal dia memang tak memiliki jabatan sebagai pemimpin di kampung ini. Dia bukan pak lurah maupun kepala desa, tapi bagi warga sini Bang Jack lebih dari sekedar pemimpin yang membukakan sebuah pintu gerbang, mengantarkan pada pemikiran yang lebih luas dan bijak.
Ketika kutanya tentang filosofi pesanggrahan kalamende, ia menjawab dengan penuh semangat. Tampaknya ia senang jika orang ingin tahu lebih jauh tentang kelompok yang dirintisnya, karena dengan begitu ia akan bisa memprovokasi agar bergabung di sini.
“Kalamende sama dengan kalajengking. Kamu tahu hewan kalajengking itu?”
“Iya.” Jawabku mengangguk. “Kalajengking itu kan yang bisa menyengat orang.”
“Betul sekali. Kata kuncinya kalajengking itu menyengat, ‘mencambuk’, dan menyemangati. Jadi, melalui pesanggrahan kalamende ini ada misi untuk memberikan sengatan bagi orang-orang agar tergugah kesadarannya. Mencambuk orang-orang dari tidur panjangnya, agar mereka bangkit. Serta memberikan semangat dan motivasi. Ya, kurang lebihnya begitulah.”
Kampungku memang serasa jauh dibanding ibukota di mana Bang Jack berasal. Banyak anak yang putus sekolah karena kekecewaan mereka terhadap pelayanan pendidikan yang diberikan pemerintah.
“Buat apa sekolah Bang? Hanya buang uang, ujung-ujungnya jadi pengangguran. Lebih baik bantu bapak di sawah, atau bantu ibu berdagang di pasar bisa dapat uang. Apa gunanya belajar kalau sudah bisa dapat uang, Bang?” Begitu kata Bima ketika pertama kali Bang Jack menemukannya sedang memanggul cangkul lewat depan rumahnya di jam-jam sekolah.
Lain lagi ketika Bang Jack sedang berjalan menuju kantor pos berpapasan dengan Bu Karomah bersama anak perempuannya, Faizah. Sepertinya mereka hendak ke pasar. Faizah tak melanjutkan sekolahnya setelah selesai di tingkat sekolah menengah. Ketika Bang Jack bertanya, Bu Karomah menertawakan pertanyaan Bang Jack.
“Alah Bang, anak perempuan takdirnya nanti di dapur juga. Buat apa sekolah lagi? Sudah cukup lah sampai SMP. Toh pemerintah hanya mewajibkan belajar sembilan tahun. Jadi istilahnya, yang penting sudah menggugurkan kewajiban Bang. Sebentar lagi juga Faizah akan dipersunting sama anak juragan tembakau desa sebelah Bang.” Tutur Bu Karomah dengan raut bangga karena putri sulungnya akan diperistri orang, dari keluarga kaya pula. Bisa meringankan beban keluarga menurutnya.
Dari cerita Bang Jack, sebulan berada di kampungku ternyata ia menemukan banyak Bima-Bima yang lain, mogok sekolah. Banyak ibu-ibu yang berpikiran sama dengan Bu Karomah. Padahal, ketika suatu hari ia bertemu Faizah ternyata remaja putri ini sebenarnya belum siap jika harus memasuki dunia barunya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Melihat kenyataan ini, Bang Jack tergerak untuk melakukan sebuah perubahan terutama perubahan paradigma yang berkembang di sini. Tapi memang sulit untuk melakukannya seorang diri hingga akhirnya Bang Jack tak sengaja bertemu dengan salah seorang pemuda yang aktif di karang taruna kampung ini, bernama Agus. Ada satu ideologi yang sama, sebuah keinginan untuk memajukan kampung yang bisa dikatakan tertinggal. Bersama-sama, mereka menjalankan misi pesanggrahan ini.
Mulanya, Bang Jack mengumpulkan para pemuda kampung ini yang setidaknya bisa diajak urun rembug bagaimana mendobrak anggapan yang sudah melekat erat di pikiran masyarakat. Dari kaca mata Bang Jack, paradigma seperti itu terbentuk oleh keadaan atas ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan pendidikan yang diberikan. Di kampungku yang pelosok masih minim sekali tenaga guru. Sekolah yang kurang layak disebut sebagai tempat belajar, gedungnya reot sana-sini sering kebanjiran. Kebijakan yang sering berganti acap kali membuat bingung mereka baik guru, siswa maupun orang tua. Sekolah yang menuntut kepatuhan yang sedemikian mengungkung ide-ide kreatif yang mereka miliki. Hasilnya, mereka pasrah dengan keadaan dan mengerucutkan pada satu pemikiran, sekolah dibubarkan saja.
“Jika kalian diam saja, sama saja bunuh diri pelan-pelan. Justru seharusnya kita melawannya. Namun, perlawanan dibutuhkan amunisi yang cukup. Melawan tanpa senjata, sama saja menyedekahkan nyawa pada musuh. Dan amunisi itu berupa pemikiran-pemikiran yang cerdas yang perlu proses pembelajaran dan pengasahan.” Begitu koar-koar Bang Jack yang ternyata mampu menyulut kesadaran mereka. Membangunkan mereka untuk kembali berani mengukir mimpi. Banyak pemuda-pemudi menyusun barisan di belakang Bang Jack dan Agus, memulai dengan merancang peta perubahan.
Bukan hanya itu, lambat laun para petani maupun pedagang di kampung ini sering bergabung di pesanggrahan kalamende walaupun hanya untuk sekedar meminta pendapat atas permasalahan yang mereka hadapi. Pakde Ridwan yang menjadi ketua perkumpulan para petani misalnya, sering bertandang dengan keluh kesahnya atas perbuatan pemerintah yang lebih bangga mengimpor beras dari luar dari pada beras lokal.
“Banyak petani dirugikan, sehingga regenerasi petani pun berkurang. Hal ini membuat anak muda jaman sekarang kapok untuk meneruskan profesi ini. Padahal kan negara kita ini negara agraris, tapi justru petani menipis.” Begitu curhat Pakde Ridwan.
Begitulah, selama tiga tahun di sini banyak perubahan di kampungku, terutama perubahan gaya pikir masyarakat. Tampaknya misi pesanggrahan kalamende menuai hasilnya, mampu menyengat manusia-manusia yang lama tertidur dalam kepasrahan.
***
Senja mengingatkanku untuk mengakhiri perbincangan ini walaupun masih banyak hal yang ingin kudengar dari Bang JAck. Aku berpamit pulang. Sampai di rumah, ibu yang sedang memasang kancing baju di teras menyapaku.
“Nduk, gimana? Tadi Pakde Ridwan dari sini. Kamu mau ndak sama Bang Jack?”
“Aufia mau ke kota melanjutkan kuliah, Bu. Masih terlalu dini untuk menikah.” Jawabku sambil tersenyum simpul, meninggalkan ibu. Sepertinya aku terkena sengatan kalamende.
Ngaliyan, 17 Maret 2012
Terinspirasi dari buku Sekolah dibubarkan saja, juga dari pesanggrahan kalamende yang didirikan Ahmad Khotim Muzakka dan Agus Harianto. Sebuah group untuk menyuarakan minat baca tulis sebagai hal berharga yang seharusnya dilakoni banyak orang sebagai alur hidup dan laku berfilsafat. Thanks for the inspiration, best regards for u all…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar