PAGI
1
Ah, kau masih saja meringkuk di
balik selimut
Nafas tak beraturan. Berisik
sekali dengkuranmu itu
Ini sudah pagi bung, mentari kian meninggi
Pergilah sana mengejar matahari
Kau tahu? Ia tak akan hampirimu
dengan inginnya sendiri
Tangkap sinar-sinar itu,
menjaring dengan jala yang tak berlubang
Ada harap besar istrimu,
akan menyambut sepulang kau
mengumpulkan setiap berkas cahaya
di tanganmu, ada senja yang kau
genggam ketika petang
ia suguhkan secangkir kopi
bersama camilan
rasa terima kasih, juga pembayar
lelah
masih dalam harap istrimu,
kau letakkan senja yang kau
genggam di lentera setiap ruangan
terangi gubuk kecilmu, deraikan
tawa anak-anakmu
ah, ini menjelang siang bung
kau masih saja sembunyi dari
cahaya yang menerobos di celah jendela kayu
petang nanti, tak ada senja yang
mengisi lentera
tak ada riuh tawa anak-anakmu di
gubuk gulita
padam juga harap istrimu, tak
pernah kau nyalakan
2
Ayam di kandang sudah ramai
seperti para penjual sayuran
Tidakkah kau harus ke pasar pagi
ini?
Kuingatkan lagi, ini sudah pagi
Ma
Mama masih saja menyimak gempita
artis ibu kota
Pernikahan, perceraian,
pernikahan lagi
Tak lekas beranjak pergi,
Acuh dengan riuh gemuruh di rumah
yang kau huni
Suamimu memanggil, mencari baju
kantor beserta dasi
Ternyata di bawah setumpuk baju
yang sengaja tak sempat kau rapikan
Suamimu pun menyetrika sendiri
Anak pertamamu memanggil, meminta
seragam sekolah beserta kaos kaki
bayimu merengek-rengek, minta
diganti popok karena mengompol semalam
Ricuh, kisruh
Mama masih saja asyik masyuk
dengan lagu-lagu pop anak muda
Lupakah kau yang tak lagi remaja?
Tahulah, kau seorang mama
Ini sudah menjelang siang, Ma
Suamimu pergi tak sarapan,
anak pertamamu juga ke sekolah
tanpa bawa bekal
bayimu menangis kejang, kehausan
3
Apa semalaman kau begadang?
Menghitung angka, menghapal rumus
matematika?
Berimajinasi, merangkai kata
untuk tugas bahasa Indonesia?
Oh, ternyata tidak
Aku sempat mengintip dari daun
pintu kamar yang sedikit terbuka
Tak satu buku kau baca, hanya
dibiarkan di atas meja tersusun rapi
Bagaimana kau bisa membuka pintu
dunia?
Justru kau sibuk berselancar di
dunia maya
Membuka situs-situs berbau tuna
susila
Ini sudah pagi, Nak!
Kau hanya menggeliat, tanpa
membuka mata
Bangun, Nak!
Apa kau tak terusik huru-hara
para demonstran?
Di sana-sini berteriak menolak
kenaikan BBM
Apa telingamu tak mendengar
koar-koar kebohongan
dari para calon pemimpin
negerimu?
Ah, kau tetap saja tidur nyenyak
Negerimu kisruh, kasak-kusuk
Menangis tersedu, mendamba
kesatria dari generasimu
Negerimu menjerit, terjerat
Tapi, kau terlelap rela
kehilangan nyawa
Ngaliyan, 2012
MISKIN PETANI
Miris, ironis
Negeri agraris miskin petani
Sebuah lelucon mengharukan
Tetangga pun tertawa, menyantap
dagelan kebijakan para dalang
Lucu memang,
negeri agraris petani menipis
Orang berbondong-bondong
bermigrasi profesi
Petani, profesi tak bergengsi
kata mereka
Berpakaian lusuh, berkawan
kerbau,
bermandi keringat, renang di
tanah lumpur
Miris, ironis
Rombongan mengantri ikut audisi,
Obsesi jadi artis, profesi yang
terbayar mahal
Tubruk sana-sini mencalon jadi
bupati,
Kalau tak begini tak bisa korupsi
Ada transaksi jual beli jabatan
Suatu saat balik modal
Sungguh Miris, ironis
Para dalang bangga atas tawa
tetangga
Wayang-wayang seperti laron
kebingungan
Mencari hidup mapan
Para dalang ikut tertawa,
Mereka yang telah jumawa di atas
singgasana
Berkuasa di istana negara
Tak sadarkah mereka hidup dari
wayang-wayang
Mendulang sepiring nasi masuk
mulut, mengisi perut
Dari padi, dari tangan para
petani
Sungguh miris, ironis
Ngaliyan, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar