Selasa, 01 Januari 2013

sajak



PAGI
1
Ah, kau masih saja meringkuk di balik selimut
Nafas tak beraturan. Berisik sekali dengkuranmu itu
Ini sudah pagi bung,  mentari kian meninggi
Pergilah sana mengejar matahari
Kau tahu? Ia tak akan hampirimu dengan inginnya sendiri
Tangkap sinar-sinar itu, menjaring dengan jala yang tak berlubang
Ada harap besar istrimu,
akan menyambut sepulang kau mengumpulkan setiap berkas cahaya
di tanganmu, ada senja yang kau genggam ketika petang
ia suguhkan secangkir kopi bersama camilan
rasa terima kasih, juga pembayar lelah
masih dalam harap istrimu,
kau letakkan senja yang kau genggam di lentera setiap ruangan
terangi gubuk kecilmu, deraikan tawa anak-anakmu
ah, ini menjelang siang bung
kau masih saja sembunyi dari cahaya yang menerobos di celah jendela kayu
petang nanti, tak ada senja yang mengisi lentera
tak ada riuh tawa anak-anakmu di gubuk gulita
padam juga harap istrimu, tak pernah kau nyalakan

2
Ayam di kandang sudah ramai seperti para penjual sayuran
Tidakkah kau harus ke pasar pagi ini?
Kuingatkan lagi, ini sudah pagi Ma
Mama masih saja menyimak gempita artis ibu kota
Pernikahan, perceraian, pernikahan lagi
Tak lekas beranjak pergi,
Acuh dengan riuh gemuruh di rumah yang kau huni
Suamimu memanggil, mencari baju kantor beserta dasi
Ternyata di bawah setumpuk baju yang sengaja tak sempat kau rapikan
Suamimu pun menyetrika sendiri
Anak pertamamu memanggil, meminta seragam sekolah beserta kaos kaki
bayimu merengek-rengek, minta diganti popok karena mengompol semalam
Ricuh, kisruh
Mama masih saja asyik masyuk dengan lagu-lagu pop anak muda
Lupakah kau yang tak lagi remaja?
Tahulah, kau seorang mama
Ini sudah menjelang siang, Ma
Suamimu pergi tak sarapan,
anak pertamamu juga ke sekolah tanpa bawa bekal
bayimu menangis kejang, kehausan

3
Apa semalaman kau begadang?
Menghitung angka, menghapal rumus matematika?
Berimajinasi, merangkai kata untuk tugas bahasa Indonesia?
Oh, ternyata tidak
Aku sempat mengintip dari daun pintu kamar yang sedikit terbuka
Tak satu buku kau baca, hanya dibiarkan di atas meja tersusun rapi
Bagaimana kau bisa membuka pintu dunia?
Justru kau sibuk berselancar di dunia maya
Membuka situs-situs berbau tuna susila
Ini sudah pagi, Nak!
Kau hanya menggeliat, tanpa membuka mata
Bangun, Nak!
Apa kau tak terusik huru-hara para demonstran?
Di sana-sini berteriak menolak kenaikan BBM
Apa telingamu tak mendengar koar-koar kebohongan
dari para calon pemimpin negerimu?
Ah, kau tetap saja tidur nyenyak
Negerimu kisruh, kasak-kusuk
Menangis tersedu, mendamba kesatria dari generasimu
Negerimu menjerit, terjerat
Tapi, kau terlelap rela kehilangan nyawa

Ngaliyan, 2012

MISKIN PETANI
Miris, ironis
Negeri agraris miskin petani
Sebuah lelucon mengharukan
Tetangga pun tertawa, menyantap dagelan kebijakan para dalang

Lucu memang,
negeri agraris petani menipis
Orang berbondong-bondong bermigrasi profesi
Petani, profesi tak bergengsi kata mereka
Berpakaian lusuh, berkawan kerbau,
bermandi keringat, renang di tanah lumpur
Miris, ironis
Rombongan mengantri ikut audisi,
Obsesi jadi artis, profesi yang terbayar mahal
Tubruk sana-sini mencalon jadi bupati,
Kalau tak begini tak bisa korupsi
Ada transaksi jual beli jabatan
Suatu saat balik modal

Sungguh Miris, ironis
Para dalang bangga atas tawa tetangga
Wayang-wayang seperti laron kebingungan
Mencari hidup mapan
Para dalang ikut tertawa,
Mereka yang telah jumawa di atas singgasana
Berkuasa di istana negara
Tak sadarkah mereka hidup dari wayang-wayang
Mendulang sepiring nasi masuk mulut, mengisi perut
Dari padi, dari tangan para petani
Sungguh miris, ironis
 Ngaliyan, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar