Entah berapa gelas minuman yang habis kita tenggak di angkringan ini
setiap akhir pekan. Dua gelas minuman yang selalu mengantarkan aku dan kau ke
perbincangan yang kadang mengundang gelak tawa, tapi kadang juga menyisakan
haru. Pesanan yang selalu sama hingga pemilik angkringan ini pun tengah
menyuguhkannya tanpa tanya, segelas jeruk hangat untuk menjaga kualitas suaraku
dan segelas susu pakai es untukmu. Kau tak suka minuman panas, katamu saat
pertama kali kita bertandang kesini. Aku yang pertama kali mengajakmu ke tempat
makan lesehan seperti ini untuk membunuh sepinya malam. Duduk di atas hamparan
tikar, di bawah lampu jalan yang tak benderang. Alunan lagu dari petikan gitar
para pengamen jalanan yang kadang berperang dengan suara deru kendaraan yang
melintas. Tapi ini yang kusuka dari tempat ini. Sesekali aku meminta mereka
untuk mengiringi nyanyianku, untukmu. Dan angin bisa dengan leluasa menyibak
rambutku. Saat itu kamu bertanya kenapa harus ke tempat seperti ini, tidak ke
kafe tempatku menjual suara saja. Aku hanya tertawa mendengar pertanyaanmu,
tapi toh selanjutnya ganti kamu yang keranjingan untuk mengunjungi tempat ini.
Aku kembali ke kotamu. Angkringan inilah yang pertama kali kukunjungi.
Pemiliknya sudah beruban kini, tapi sudah pasti dia telah melupakanku seperti
kamu menghapus sketsa wajahku. Buktinya dia menghampiriku, bertanya aku ingin
minum apa. “Segelas jeruk hangat dan segelas susu pakai es.” Ia mengerutkan
dahinya agak heran, tapi aku enggan untuk mengingatkan siapa aku. Sembari
menunggu pesanan, mataku menyapu semua gedung-gedung yang nampak dari sini. Aku
masih mengingatmu, juga kotamu. Walaupun sudah banyak hal yang berubah di sini.
Aku baru saja kembali dari Netherland, negeri impian bagiku yang selalu
kuceritakan padamu di sini. Mungkin gerobak angkringan itu juga mendengar
bagaimana ekspresi gilaku ketika aku mengatakan aku sedang ngidam untuk berpose
memakai toga di depan Leiden University, kampus tertua di Belanda. Kamu pun
heran padahal aku tak hamil. Perempuan tak perlu menunggu hamil untuk merasa ngidam,
belaku. Dan kemudian, kamu menggenggam erat tanganku dan berjanji akan
mengajakku ke tempat itu suatu saat. Kata-katamu menjadi pelukan hangat bagiku,
entah tiba-tiba aku merasa nyaman.
Pemilik angkringan mengantar pesananku. Sejenak dua orang pemuda
mendekat, menyanyikan sebuah lagu pop Indonesia yang tak pernah kudengar
sebelumnya. Ah, terlalu lamakah aku meninggalkan kota ini, batinku tersenyum
kecut. Aku menikmati suara pengamen yang agak serak itu sambil mengaduk-aduk
gelas di depanku. Ada bayanganmu di minumanku, hingga seakan mewujud di hadapanku.
Menyeretku kembali ke masa lalu, ketika aku tetap ingin di angkringan sini
sampai pagi. Bahkan aku menolak ketika kamu mengajakku pulang. Kamu
mengingatkan, tak baik perempuan keluar hingga larut. Ternyata kamu masih
berpegang pada adatmu walau akhirnya kamu mengatakan bahwa kamu membencinya.
Semalaman kita terjaga, mengalir bersama cerita-cerita yang kita tuangkan.
“Aku benci kotaku ini. Panas.” Katamu.
“Memang sih, Semarang terkenal panas. Tapi Semarang indah buatku. Di sini
aku bisa bertemu denganmu. Aku mencintai kota ini, seperti aku mencintaimu.”
Sejenak wajahmu memerah mendengar ucapanku. Sudah lama kita tidak menyebutkan
kata cinta dalam kebersamaan kita. Semuanya berjalan begitu saja, baik-baik
saja. Dan ketika aku menyebutnya, seakan kita diingatkan kembali pada sesuatu
yang kita lupa. Oh bukan, sesuatu yang memang sengaja kita lupakan. Kita
sama-sama terdiam. Dan cerita berujung di situ ketika fajar menyingsing. Kamu
pun antarkan aku pulang, dengan membawa setangkup haru. Perjalanan yang terasa
panjang karena kita hanya bertanya lewat isyarat sepi. Cinta apa yang kita
miliki dalam hubungan ini?
Suara nyanyian musisi jalanan itu berhenti, mengembalikanku dari lorong
waktu masa lalu yang kuciptakan. Mereka pun pergi meninggalkanku setelah
selembar uang kuberikan, namun bayanganmu tak ikut serta pergi. Aku sengaja
mengimajinasikan wujudmu untuk menemani kunjunganku ke kotamu. Mungkin saat ini
kamu tengah sibuk melahirkan karya-karya di depan laptopmu, ditemani es susu
yang disuguhkan istrimu. Atau mungkin kamu telah meringkus di pembaringan, terlelap
dalam peluk hangat istrimu setelah ia menidurkan buah cinta kalian. Benarkah
kamu mencintai dia? Kita memang tak pernah saling mengatakan cinta kecuali
malam itu. Bahkan setelah itu pun kamu memintaku berjanji untuk tidak
menyebutkan kata itu lagi. Kamu benar-benar menghapus kata itu dalam kamus
hubungan kita. Aku sempat bertanya mengapa, atau apakah kamu terlalu takut akan
hubungan ini atau kamu tak berani untuk melangkah lebih jauh bersamaku. Tapi
berkali-kali kamu meyakinkanku. “Hubungan ini akan sampai di penghujung usia
kita, yakinlah.” Katamu. Akhirnya aku setuju.
Ah, seandainya aku yang menemanimu malam ini. Bersamamu ketika kamu
membaca, ketika kamu menulis, menyuguhkan minuman kesukaanmu, memijit pundakmu
ketika kamu merasa lelah, dan membawakan mantel ketika dingin malam mulai
menggerayangi tubuhmu. Walau Semarang panas, tapi aku tahu kini kamu telah
bertambah usia agaknya tak sekuat dulu menantang angin malam. Di mana kamu
malam ini? di sebelah sudut mana dari kota ini kau berada? Malam ini aku
menenggak pahit ini bersama tegukan terakhir dari minumanku. Kubiarkan utuh es
susu di gelasmu yang mulai mencair. Aku pergi.
Aku kembali ke kotamu senja ini, berharap menemukan kembali senyummu
setelah mendengar kabar aku pulang dari negeri impianku. Tempat kedua dari
kotamu yang kukunjungi adalah kawasan kota lama. Dulu aku tak pernah tahu
daerah ini. Di salah satu hari yang pernah kita lewati, tepat satu tahun
hubungan kita berjalan kau mengajakku ke tempat ini. “This is the little
Netherland, welcome to your dream land.” Katamu penuh bangga, tampaknya kamu
mulai menyukai kotamu sepertiku. Tanpa kuminta, kau bercerita perihal sejarah
kota lama yang begitu eksotis bagiku. Semakin memukau ketika cahaya senja
memantul, memberikan efek ketuaannya. Benar saja aku merasa berada di
Netherland. Bangunan-bangunan kunonya yang bergaya ala Eropa menjadi saksi bisu
sejarah masa lalu pada masa koloni Belanda, juga menjadi saksi bisu kisah dua
sejoli yang dimabuk asmara beberapa tahun silam. Kota lama pun tetap saja
membisu ketika kini aku kembali, berdiri di antara gedung-gedung itu.
Entah sudah berapa lama aku tak bertandang ke sini. Banyak yang berubah. Aku
diantar oleh seorang tukang becak untuk menyusuri daerah ini, tak seperti dulu
ketika aku membonceng motor bututmu yang sempat mogok dan kita mendorongnya
berdua tanpa merasa lelah. Little Netherlandku tampak kumuh, lusuh. Kata si
abang becak, daerah ini rawan banjir setiap hujan mengguyur kota Semarang. Bangunan
yang masih berdiri tampak tak kokoh lagi. Seakan mereka merintih akan kesepuhan
usianya. Menjerit karena ulah tangan manusia yang tak lagi peduli padanya.
Bahkan pemerintah pun mengabaikannya. Hatiku sendu melihat kota lamaku tak
terurus begini. Apakah kau tak tepati janjimu dulu untuk menjaganya ketika aku
pergi. Mungkin kau ingin, tapi kau tak mampu untuk melakukannya sendiri. Atau,
mungkin kau telah melupakan janjimu setelah kau bersama dengan dia. Kau sudah
melupakan cintamu padaku. Huft, dadaku sesak. Aku menyembunyikan tangisku dari
si abang becak.
Ayunan becak berhenti di depan gereja Blenduk yang kini berusia lebih
dari dua ratus tahun. Aku pun turun. Menyibak kembali kenangan yang pernah
terpotret di sini, walau dalam ingatan. Gereja inilah bangunan yang paling aku
suka di antara deretan bangunan yang ada. Masih teringat ceritamu mengapa
gereja ini disebut gereja Blenduk, nama yang aneh bagiku. Pantas saja, karena
kata Blenduk dalam bahasa Jawa berarti Kubah. Dipucuk atas gereja ini memang
terdapat sebuah kubah besar. Saat itu aku berjingkrakan bisa sampai sini
bersamamu. Kegilaanku akan Netherland sedikit terobati. Di taman yang berada di
samping gereja, kita mengukir mimpi masa depan. Pernikahan, anak, sampai punya
cucu dan rambut kita memutih. Aku mengubur mimpiku untuk menikah di gereja ini,
karena kau pasti tak akan setuju. Tapi aku tetap memintamu untuk nanti berpose
di sini, ketika kita mengenakan baju pengantin. Kau mengangguk mengiyakan
inginku, kemudian membenamkan kepalaku di dadamu.
Mataku nanar melihat bangunan tua ini. Air mataku menggantikan hujan
membanjiri little Netherlandku. Otak ini memutar kembali memori yang menjadi
akhir cerita cinta kita. Saat itu entah yang keberapa kita menghabiskan senja
di gereja ini, yang kuingat itu yang terakhir kali sebelum kuputuskan terbang
ke Netherland menerima beasiswa di sana.
“Cinta kita harus sampai di sini.” Katamu lirih. Awalnya aku tak percaya
dengan kata-katamu. Biasanya kamu suka membuat lelucon-lelucon yang bisa
membuatku jengkel.
“Ahhhaa, kamu bercanda kan? Aku sudah kebal dengan leluconmu tau.” Aku
berusaha membuatmu tertawa, bahkan sampai menggelitiki tubuhmu. Tawamu tak
terlepas juga. Malah matamu berkaca. Dan seketika aku menyadari kalau kau
berkata jujur. Tubuhku lemas. Impian-impian yang kubangun untuk jalani hidup
bersamamu runtuh saat itu juga. Aku menangis sesenggukan, disaksikan kota lama.
“Kecuali kamu pindah agamaku. Itu yang diinginkan orang tuaku.”
“Baiklah, aku akan meninggalkan agamaku.” Kataku spontan. Aku menggenggam
erat tanganmu, meyakinkanmu.
“Tidak, aku tak ingin memaksamu.”
“Aku nggak merasa terpaksa.”
“Bukan, itu hanya emosi sesaatmu. Aku takut kamu akan menyesal suatu saat
nanti.”
Aku kembali ke kotamu, masih berharap ada cintamu untukku. Aku telah
melewati waktu yang lama tanpamu, masih menjaga cintamu sampai saat ini. Aku
tersedu untuk kedua kali di kota ini, mendengar dialog kita di masa lalu
kembali terngiang. Terserah apa kata orang ketika melihat seorang perempuan
duduk sendiri, menangis pilu. Aku tak peduli lagi.
Senja hampir usai, tergantikan oleh malam. Kota lama akan kehilangan
ke-eksotisan-nya disembunyikan gelap, hanya kengerian bangunan tua yang
akan disisakannya. Sebaiknya aku pulang. Aku berjalan mendekati taksi yang
letaknya agak jauh dari gereja ini. Dengan langkah gontai, menutup pelan pintu kenangan.
12:28
AM
Ngaliyan,
14 February 2012
Terinspirasi dari lagu berjudul Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar